Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Darurat Perdagangan Orang di Kalimantan Barat, Kasus Penipuan "Online" Tinggi

Kompas.com, 21 November 2023, 08:00 WIB
Danur Lambang Pristiandaru

Editor

KOMPAS.com - Tindak pidana perdagangan orang (TPPO) di Kalimantan Barat (Kalbar) sudah masuk dalam tahap darurat, khususnya sektor judi online, dan penipuan daring atau online scam.

Hal tersebut disampaikan Deputi Bidang Koordinasi Politik Luar Negeri Kemenkopolhukam Rina P Soemarno di Pontianak, Senin (20/11/2023).

"Diperlukan arahan dan keputusan dari pemimpin tertinggi RI, yaitu Presiden. Di Kalbar korban TPPO berjumlah 70 orang berdasarkan sampel," kata Rina, sebagaimana dilansir Antara.

Baca juga: Tidak Boleh Ada Impunitas Bagi Pelaku Sindikat Perdagangan Orang

Dia menambahkan, Kalbar menjadi daerah penyumbang korban TPPO online scam terbesar ketiga setelah Sumatera Utara dan Sulawesi Utara.

Kasus online scam di Indonesia secara keseluruhan terus meningkat pesat. Berdasarkan data hingga akhir Oktober 2023 tercatat 3.347 kasus.

Pada 4 November 2023 sudah tercatat penindakan terhadap 935 kasus, termasuk di antaranya terdapat 1.049 tersangka dan 2.797 korban yang mendapatkan langkah penindakan.

Ironisnya, kasus TPPO justru paling banyak berasal dari kalangan yang berpendidikan tinggi dan universitas.

"Mereka juga berasal dari perkotaan dan paham teknologi informasi. Mereka dipekerjakan secara paksa di tempat-tempat di Asia Tenggara untuk melakukan kegiatan tidak benar bahkan menipu warga negaranya sendiri," tutur Rina.

Baca juga: Waspada, Pelaku Perdagangan Orang Mulai Incar Masyarakat Berpendidikan

Dalam Rapat Kabinet pada 30 Mei 2023, Presiden Joko Widodo memerintahkan gerak cepat mengatasi TPPO dengan penindakan hukum yang jelas terhadap pelaku dan restrukturisasi petugas.

"Kami mengidentifikasi permasalahan bahwa kasus TPPO mayoritas akibat dari penempatan pekerja migran Indonesia nonprosedural," ucap Rina.

Ia mengatakan, perlunya tindakan hukum untuk menjerat pelaku TPPO karena berkaitan erat dengan tindak pidana lain, termasuk tindak pidana korupsi, gratifikasi, suap, dan pencucian uang.

Sehingga, perlu upaya pencegahan yang besar dan berkelanjutan termasuk edukasi serta kesadaran diri.

"Isu ini tidak mudah untuk diberantas karena banyak korban yang merasa tidak menjadi korban, adanya korban yang menikmati sebagai korban," tutur Rina.

Baca juga: Libya, Eritrea, dan Yaman, 3 Negara dengan Perdagangan Orang Terburuk di Dunia

Dia menuturkan, korban malu mengaku sebagai korban. Selain itu, masyarakat terutama pemuda tidak mau percaya mengenai cerita korban.

"Mereka lebih percaya dengan situs medsos (media sosial) hal seperti ini sulit bagi kami untuk memberantas TPPO," ucapnya.

Bahkan saat ini, ada fenomena baru yakni penjualan organ tubuh seperti ginjal.

Rina menyampaikan, ada banyak laporan dari Kementerian Luar Negeri, perwakilan Indonesia di luar negeri, dan dari medsos mengenai fenomena tersebut ke Kemenkopolhukam.

"Hal ini mengharuskan kami melakukan rapat koordinasi bahkan langsung dipimpin Kemenkopolhukam sendiri untuk membahas dan mengkaji berbagai permasalahan yang terkait dengan TPPO," jelas Rina.

Baca juga: Tindak Pidana Perdagangan Orang Telan 1789 Korban, Ini Upaya Pemerintah

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Terkini Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Beli dan kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme Jernih KOMPAS.com
Memuat pilihan harga...
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Tentang

Fitur Apresiasi Spesial dari pembaca untuk berkontribusi langsung untuk Jurnalisme Jernih KOMPAS.com melalui donasi.

Pesan apresiasi dari kamu akan dipublikasikan di dalam kolom komentar bersama jumlah donasi atas nama akun kamu.

Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan yang berisi konten ofensif, diskriminatif, melanggar hukum, atau tidak sesuai etika dapat dihapus tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme Jernih KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau