Dengan terbitnya UU Cipta Kerja dan PP 23/2021 tentang penyelenggaraan kehutanan, secara tekstual dan eksplisit akses masyarakat yang bermukim di dalam dan di sekitar hutan mendapat ruang dan kesempatan berusaha dalam kawasan hutan melalui kegiatan perhutanan sosial.
Menurut aturan, penguasaan hutan tidak diharamkan atau dilarang dalam kawasan hutan untuk diusahakan dan dipungut hasil hutannya berupa kayu dengan aturan dan persyaratan tertentu.
Pengusahaan hutan inilah yang dipersoalkan Suraya Afiff yang disebut dengan penguasaan lahan hutan untuk diberikan kepada perusahaan atau korporasi hingga saat ini.
Berdasarkan aturan, kegiatan masyarakat di dalam kawasan hutan adalah ilegal kecuali mendapatkan izin.
Dalam PP 28/1985 tentang perlindungan hutan sebagai turunan dari UU 5/1967, Pasal 6 ayat (1) berbunyi “Kawasan hutan dan hutan cadangan dilarang dikerjakan atau diduduki tanpa izin Menteri”.
Sekitar 25.863 desa di dalam dan di sekitar hutan yang terdiri dari 9,2 juta rumah tangga yang diungkap Suraya Afiff masuk dalam golongan di luar masyarakat adat.
UU 41/1999 mengatur masyarakat di dalam dan di sekitar hutan berhak memperoleh kompensasi karena hilangnya akses dengan hutan sekitarnya sebagai lapangan kerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya akibat pemerintah menetapkannya sebagai kawasan hutan.
Dalam PP 6/2007, tentang tata hutan, dan rencana pengelolaan hutan serta pemanfaatan hutan, untuk mendapatkan manfaat sumber daya hutan secara optimal dan adil, pemerintah wajib memberdayakan masyarakat di dalam dan di sekitar hutan melalui pengembangan kapasitas dan pemberian akses dalam rangka peningkatan kesejahteraannya.
Pemberdayaan masyarakat di dalam dan di sekitar hutan dapat dilakukan melalui kegiatan yang kini dikenal sebagai perhutanan sosial.
Perhutanan sosial adalah bagian dari reforma agraria, selain tanah objek reforma agraria (TORA). Bedanya lahan TORA bisa jadi hak milik, tapi lahannya tak bisa dijual atau diwariskan.
Keduanya adalah implementasi hak menguasai oleh negara yang diatur dalam pasal 33. Masalahnya, delegasi hak kepada industri melalui konsesi dan masyarakat melalui reforma agraria acap timpang sehingga memicu konflik agraria.
Penguasaan hutan oleh negara berarti negara memberi pemerintah kewenangan untuk mengatur dan mengurus segala sesuatunya terkait dengan hutan. Dari kawasan hingga hasil hutan.
Sayangnya, kewenangan ini tidak diimbangi dengan SDM, regulasi, peralatan dan pendanaan yang memadai sehingga terkesan ala kadarnya. Padahal, SDA hutan 120,3 juta hektare, lebih dari 60 persen menguasai daratan.
Sejak Undang-Undang (UU) Pemerintah Daerah Nomor 32/2004 terbit, kewenangan kehutanan banyak dilimpahkan ke daerah (provinsi/kabupaten/kota).
Kabuapten yang mempunyai potensi SDA hutan besar ramai-ramai membentuk dinas kehutanan untuk menjaring pemasukkan pendapatan asli daerah (PAD) dan mengelola dana bagi hasil (DBH) sektor kehutanan.
Namun para bupati dengan dengan SDA hutan sering salah tafsir. Kasus Bupati Indragiri Hulu, Provinsi Riau, 1999-2008, Raja Thamsir Rahman (RTR) menjadi contoh.
Hanya berbekal izin prinsip, Bupati RTR menerbitkan izin lokasi dan izin usaha perkebunan di kawasan hutan Indragiri Hulu seluas 37.095 hektare.
Padahal, izin usaha perkebunan di kawasan hutan harus dilengkapi izin pelepasan kawasan hutan dari Menteri Kehutanan dan izin hak guna usaha (HGU) dari Menteri Agraria/Tata Ruang.
Faktanya, PT. Duta Palma Group dapat mengusahakan kebun sawit sampai kasus terungkap pada Juli 2022. Negara dirugikan Rp 78 triliun.
UU no. 32/2004 direvisi menjadi UU No.23/2014 dan kewenangan kehutanan banyak kembali ditarik ke pusat. Pemerintah kabupaten/kota hanya mengurus Taman Hutan Raya (Tahura).
Banyak bupati jadi tidak peduli masalah kehutanan di daerahnya, seperti kebakaran, perambahan, konflik tenurial, illegal mining, dan illegal logging.
Pemerintah pusat akhirnya kewalahan, khususnya dalam menangani kebun sawit dan pertambangan ilegal. Sawit dalam kawasan hutan mencapai 3,4 juta hektar.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya