Devisa negara yang disumbangkan hampir setara dengan minyak bumi, 9 miliar dollar AS per tahun terhadap pendapatan nasional.
Rezim orde baru runtuh dan pemerintahan berganti dengan era reformasi ditandai dengan terbitnya undang-undang no. 41 tahun 1999 tentang kehutanan, HPH berubah nama dan berganti baju menjadi Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK), dan hutan tanaman industri (HTI) berubah menjadi izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu hutan tanaman (IUPHHK-HT). Namun cara dan sepak terjangnya dalam mengeksploitasi hasil hutan kayu alam polanya tidak jauh berubah.
Seiring dengan pudarnya kejayaan kayu dari hutan alam Indonesia, banyak IUPHHK yang habis kontrak. Izinnya tidak diperpanjang oleh pemerintah akibat banyaknya aturan yang dilanggar, bahkan tidak aktif lagi karena produktivitas hutan alam setelah rotasi kedua menjadi sangat rendah atau bahkan tidak ekonomis untuk diusahakan.
Perkembangan jumlah IUPHHK- HA pada 2010 sebanyak 304 unit dengan luas areal kerja lebih dari 25,05 juta ha. Sementara IUPHHK-HT (Hutan Tanaman) sebanyak 284 unit dengan jumlah areal kerja 12,35 juta ha.
Kinerja produksi dari IUPHHK-HA selama kurun waktu 2007-2012 terus mengalami penurunan. Sebagai contoh, kinerja produksi IUPHHK-HA pada dua tahun berturut-turut, kontribusinya dalam memenuhi kebutuhan bahan baku industri (BBI) nasional menurun dari 19,8 persen pada 2007, menjadi 14,6 persen pada 2008.
Sebaliknya, kinerja produksi IUPHHK-HT dalam memenuhi BBI nasional pada dua tahun yang sama meningkat dari 63,5 persen pada 2007, menjadi 68,8 persen pada 2008.
Pada akhir 2022, dari 30,7 juta hektare yang telah diberikan izin pemanfaatan hutan, sebanyak 61 persen (atau setara dengan 18,8 juta hektare) berupa Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Alam (IUPHHK-HA) dan 36 persen (atau 11,18 juta hektare) berupa Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman (IUPHHK-HT).
Ekses yang timbul dari izin HPH yang tidak terkendali antara lain tidak cermatnya lokasi kawasan yang ditunjuk. Banyak kawasan hutan yang mestinya berfungsi lindung/termasuk hutan gambut masuk dalam wilayah HPH.
Sistem silvikultur tebang pilih tanam Indonesia (TPTI), tebang habis permudaan buatan (THPB), tebang habis permudaan alam (THPA) tidak dipatuhi di lapangan karena pengawasan aparat kehutanan setempat lemah.
Singkatnya, kaidah kelestarian produksi hutan alam tidak berjalan dengan baik. Ditambah lagi alih fungsi lahan hutan yang masif dan skala luasnya makin meningkat terus di era reformasi ini.
Timbul masalah baru yang sebenarnya sudah diperhitungkan sebelumnya, yaitu bencana ekologis akibat eksploitasi SDA hutan.
Kebakaran hutan dan lahan (karhutla), khususnya dari bekas hutan gambut yang menghasilkan bencana asap, selalu muncul setiap tahunnya memasuki musim kemarau. Pemerintah pusat maupun daerah dibuat kalang kabut mengatasi karhutla.
Belum lagi, masalah bencana hidrometeorologi seperti banjir, banjir bandang, dan tanah longsor yang selalu mendera setiap tahun di beberapa wilayah akibat rusaknya ekosistem lingkungan. Makin lama, skala dan luasnya bencana hidrometeorologi bertambah besar dan meningkat.
Di sisi lain, alih fungsi lahan hutan untuk kepentingan nonkehutanan makin marak dan masif demi dan atas nama pembangunan di era reformasi ini.
Secara normatif pengertiannya alih fungsi lahan hutan adalah proses pengalihan fungsi lahan hutan dari kegiatan kehutanan untuk kepentingan kegiatan nonkehutanan seperti permukiman, perkebunan, pertambangan.
Dalam undang undang (UU) no. 41/1999 tentang Kehutanan, pasal 38 ayat (1) menyebutkan bahwa penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan hanya dapat dilakukan di dalam kawasan hutan produksi dan kawasan hutan lindung.
Mekanisme alih fungsi lahan hutan diatur melalui dua prosedur, yakni pelepasan kawasan hutan dan izin pinjam pakai kawasan hutan.
Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menunjukkan alih fungsi lahan hutan secara legal sejak Orde Baru hingga 2017 seluas 6,7 juta hektare.
Sedangkan alih fungsi lahan hutan yang menjadi kebun sawit bermasalah seluas 3,1 juta hektare, belum termasuk pertambangan ilegal.
Ada juga alih fungsi melalui izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH) yang telah diterbitkan dari 1979 hingga 2018 seluas 563.463,48 hektare.
Pemerintah dalam memanfaatkan kawasan hutan secara tidak langsung dengan pendekatan lingkungan, sudah sangat terlambat setelah terjadi kerusakan lingkungan di mana-mana, khususnya dalam kawasan hutan.
Menurut data terbaru dari KLHK dalam bukunya “The State Of Indonesia’s Forest 2020” terbit tahun 2020, luas hutan Indonesia 120,3 juta hektare, yang terdiri dari hutan primer 43,3 juta hektare, hutan sekunder 37,3 juta hektare, hutan tanaman 4,3 juta hektare dan kawasan hutan nontutupan hutan seluas 33,4 juta hektare.
Kawasan hutan nontutupan yang dipersoalkan seluas 33,4 juta hektare, merupakan lahan-lahan terbuka, semak belukar dan tanah terlantar bukanlah lahan menganggur yang dapat dimanfaatkan apa saja. Tiap kawasan lahan hutan tersebut mempunyai fungsi kawasan masing-masing.
Meski kawasan hutan seluas 33,4 juta hektare merupakan kawasan yang tidak mempunyai tutupan hutan (forest coverage), namun kawasan hutan tersebut masuk dalam kawasan hutan konservasi 4,5 juta hektare, hutan lindung 5,6 juta hektare, hutan produksi terbatas 5,4 juta, hutan produksi biasa 11,4 juta hektare dan hutan produksi yang dapat dikonversi seluas 6,5 juta hektare.
Sementara kawasan hutan produksi yang menjadi andalan dalam mendatangkan nilai ekonomi bagi pendapatan negara luasnya mencapai 68,80 juta hektare.
Dari luas tersebut, yang telah dibebani hak (dengan perizinan) seluas 34,18 juta hektare. Rinciannya, izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu hutan alam (IUPHHK-HA) 18,75 juta ha dengan 257 unit korporasi, izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu hutan tanaman (IUPHHK_HT) 11,19 juta ha dengan 292 unit korporasi dan IUPHHK-RE. Sisanya hutan produksi seluas 34,62 juta ha belum dibebani hak (belum ada perizinan).
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya