“Kalau biota laut tertutup sampah, mereka akan menjerit. Sehingga sudah jadi kewajiban kita harus peduli,”kata Radith.
"Akhirnya saya sadar, jika kita sebagai anak muda tidak buat satu langkah baik, berarti kita sebagai anak muda itu gagal," sambungnya.
Laut jadi muara pembuangan sampah. Pasalnya, pada musim hujan, semua jenis sampah yang selama ini dibuang sembarangan dan menumpuk di kali kering, hanyut menuju laut.
Pesisir Alak kerap menampung sampah kiriman, saat arus laut bergerak ke barat Teluk Kupang. Air dari Kali Namosain dan Kali Tenau turut membawa sampah ke laut.
Saat sampah berada di laut, akan mengikuti arus ke gelombang. Ada yang ke tengah laut, ada pula yang ke tepi pantai.
"Mau tidak mau, suka tidak suka, kalau semua sampah ini terseret ke pesisir pantai, kita harus menguranginya dengan memilih atau memungutnya," imbuhnya.
Tak hanya itu, Radith juga menyentil pemerintah yang belum maksimal menyelesaikan masalah sampah di laut.
Padahal, sudah ada Undang-Undang (UU) Nomor 18 Tahun 2008 yang mengatur tentang pengelolaan sampah.
Dia yakin, jika pemerintah dan masyarakat menjalankan perintah Undang-Undang tersebut, maka sampah tidak akan berserakan di mana-mana, baik itu di darat maupun di laut.
Dalam UU itu, sampah harus dikelola dari rumah tangga dengan cara dipisah.
Kemudian pemerintah menyiapkan fasilitas pendukung seperti tempat sampah dari rumah tangga sampai tempat pembuangan sementara, hingga tempat pembuangan akhir.
Beberapa jenis sampah seperti sampah bahan berbahaya dan beracun, plastik, makanan, sayur atau sampah basah, masing-masing harus dipisah.
Faktanya, di lapangan semuanya itu tidak ada. Sampah yang sudah dikumpulkan di tempat pembuangan sementara dengan cara dipilah, diangkut mobil lalu dibawa ke tempat pembuangan akhir dan dibuang saja begitu.
Alhasil tempat pembuangan akhir sampah di Alak, dalam setahun telah dua kali terbakar. Dampaknya pada kesehatan masyarakat dan lingkungan sekitar.
"Per hari ini, pemerintah tidak serius menjalankan perintah UU ini. Yang salah siapa? Mau salahkan masyarakat karena menghasilkan banyak sampah menurut saya tidak juga," cetus Radith.
Peneliti Mikroplastik Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) NTT Horiana Yolanda Haki mengatakan, data sampah di Kota Kupang pada tahun 2021 mencapai 218,98 ton per hari.
Angka itu menurun pada tahun 2022 yakni 86 ton sampah per hari.
"Data itu kita diperoleh dari Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan Kota Kupang. Untuk tahun 2023 kami belum dapat datanya," ujar Horiana.
Walhi NTT juga pernah berkolaborasi dengan tim peneliti Ekspedisi Sungai Nusantara (ESN), menemukan adanya mikroplastik dan timbulan sampah di perairan Kota Kupang.
"Kondisi ini menjadi bukti bahwa pengelolaan sampah di Kota Kupang masih amburadul," kata Horiana.
Tim ESN dan Walhi NTT menyimpulkan, ada lima faktor penyebab pencemaran mikroplastik dan banyaknya timbulan sampah plastik di Perairan Kupang.
Pertama, pola konsumerisme yang sengaja diciptakan oleh pelaku usaha untuk sekadar memenuhi kebutuhan penjualan hasil produksinya.
Kemudian, Pemerintah Kota Kupang mengabaikan pengelolaan sampah.
Dalam UU Nomor 18 Tahun 2008 Pasal 15 secara jelas menegaskan, produsen wajib mengelola kemasan atau barang yang diproduksinya yang tidak dapat atau sulit terurai oleh proses alam.
Selain itu, Pemerintah Kota Kupang juga memiliki regulasi untuk menangani sampah, seperti Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2011 terkait kewajiban pelaku usaha.
Pasal 12 secara tegas menyatakan pelaku usaha yang melakukan usaha atau program yang menghasilkan produk atau kemasan produk, wajib melaksanakan program pembatasan timbulan sampah sebagai bagian dari usaha atau programnya.
Selanjutnya, pemerintah tidak melakukan pemetaan pelaku-pelaku usaha yang produknya dijual di pasaran, sehingga produsen dan pelaku usaha yang menghasilkan sampah tidak termonitoring dan terus menghasilkan sampah plastik
Pemerintah juga tidak menyediakan sarana infrastruktur pengelolaan sampah seperti tempat sampah yang memadai dan mencukupi, tidak tersedianya pengangkutan sampah, tidak adanya tempat pengolahan sampah sementara di setiap kelurahan.
Melihat kondisi itu, tim peneliti Ekspedisi Sungai Nusantara dan Walhi NTT merekomendasikan pemerintah untuk mengimplementasi UU Nomor 18 tahun 2008 tentang pengelolaan sampah terutama dalam aspek pengurangan sampah plastik ke perairan hingga 30 persen pada tahun 2025.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya