KUPANG, KOMPAS.com - Sebuah bungkusan mie instant merek ternama Tanah Air yang mulai memudar tulisan dan warnanya, terselip di antara batu karang dan rumput laut. Dengan sekelebat dipungut Radith Giantiano.
Pemuda lajang berusia 30 tahun asal Kelurahan Alak, Kecamatan Alak, Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT), itu tampak lincah memainkan jari jemarinya di antara tumpukan rumput yang basah diterpa ombak.
Satu per satu sampah diambil dan dimasukkan ke dalam karung plastik warna putih berbalut lumpur berukuran 15 kilogram, yang ditentengnya dengan tangan kiri. Ada sampah plastik, gelas plastik bekas minuman mineral, kaleng bekas hingga keset rusak.
Sampah plastik yang diambil, menyisakan bekas menghitam pada rumput.
"Rumput dan organisme yang melekat ikut rusak dan mati akibat sampah ini. Makanya warna rumput berubah jadi hitam," ujar Radith, saat bersama Kompas.com memungut sampah, Jumat (1/12/2023).
Baca juga: Dukung Ekonomi Sirkular, Kemenkeu Resmikan Program Pengelolaan Sampah
Aktivitas pemuda kelahiran Kupang, 12 Februari 1993, itu sudah berlangsung sejak tahun 2019 lalu, saat usianya 26 tahun. Namun, lebih rutin pada tahun 2021 pasca kejadian Badai Seroja menerjang wilayah Kupang dan sekitarnya.
Badai Seroja yang melululantahkkan ribuan rumah dan pohon berukuran besar, termasuk terumbu karang di deretan Teluk Kupang, membuatnya sadar untuk lebih peduli terhadap kelestarian laut, sebagai sumber kehidupan bagi dia dan nelayan lainnya.
Setiap pagi sekitar pukul 07.00 WITA saat matahari belum sepenggalan, Radith yang bekerja sebagai nelayan, mulai beranjak dari rumahnya yang berjarak hanya selompatan dari bibir pantai.
Dia membersihan semua jenis sampah di sepanjang pantai yang juga bersebelahan dengan dermaga kapal. Durasi waktunya antara 45 sampai 60 menit, hingga keringat mengucur deras membasahi sekujur tubuhnya.
Melihat sampah mulai berkurang, Radith beristirahat sejenak di bawah batu karang seukuran rumah, sambil menyeka keringat di kening yang menghitam. Saat napasnya mulai normal, dia kembali ke rumah untuk mandi.
Pagi itu, Radith harus mengikuti sejumlah agenda. Satu di antaranya menghadiri rapat di Kantor Lurah Alak, membahas masalah sampah di tempat pembuangan akhir (TPA) Alak yang terbakar, termasuk juga sampah di laut.
Kepedulian terhadap lingkungan sekitar laut dari sampah rupanya terdengar luas hingga ke luar NTT.
Sudah tak terhitung lagi berapa kali dia jadi pembicara di beberapa forum mahasiswa dan organisasi pemerhati lingkungan, lembaga swadaya masyarakat dan dinas, komunitas pecinta alam, universitas dan Sekolah Menengah Atas (SMA).
Dia juga pernah jadi pembicara tentang penyelamatan lingkungan dari sampah yang digelar mahasiswa Universitas Indonesia melalui zoom.
Cara bicaranya yang teratur dan terstruktur, membuatnya sempat dikira sarjana. Padahal, Radith tidak memiliki ijazah sekolah. Dia putus sekolah di kelas III Sekolah Dasar (SD) Inpres Tenau Kupang.
Untuk pengembangan diri, Radith bergabung dengan Underwater Kupang. Komunitas ini rutin merestorasi karang dan juga membersihkan sampah di laut.
Radith juga aktif di beberapa komunitas seperti Free Diving Kupang, Bukan Sekadar Pesiar, Taman Baca Anak Pinggiran Indonesia, Extention Rebellion, dan Taruna Peduli Alak
Termasuk, di komunitas pengawas pantai Relawan Kamla NTT, Timor Trip Persatuan Olahraga Selam Seluruh Indonesia NTT, serta Barisan Pemuda Adat Nusantara.
“Terus terang, saya ikut komunitas untuk pengembangan diri, karena saya tidak sekolah. Dari sini, saya mendapat teman, pengetahuan dan pengalaman baru, serta relasi, terutama tentang komunitas yang peduli alam,” kata Radith.
Radith mengisahkan awal dirinya peduli pada sampah saat tak sengaja menyelam persis di bawah dermaga kapal nelayan.
Saat berada di dasar laut, Radith sempat tercengang lantaran banyaknya sampah yang menumpuk. Sebagian tersangkut di terumbu karang.
Dia bahkan menemukan ikan mati terjebak di sampah plastik. Terumbu karang menjadi rusak dan mati.
Semua sampah itu dipungutnya dan dibawa ke darat. Meski susah payah, sedikit demi sedikit sampah itu diambil.
Radith sadar, tidak mungkin sendiri membersihkan sampah di laut. Dia lantas meminta beberapa kerabat dan teman-temannya untuk membantu membersihkan sampah di laut.
Permintaan itu tidak serta merta diikuti. Namun, Radith tak patah arang. Dengan segala cara dilakukannya untuk meyakinkan keluarga dan rekan-rekannya, bahwa mata pencarian mereka di laut. Jika ekosistem laut rusak, dengan sendirinya populasi ikan akan berkurang.
Kerabat dan warga sekitar akhirnya sadar dan mulai ikut membersihkan sampah di dasar laut maupun di tepi pantai.
Untuk membuat gerakan lebih masif, Radith pun bergabung dalam komunitas Free Diving Kupang dan komunitas pengawas pantai Relawan Kamla NTT.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya