Sementara itu, negara-negara kepulauan kecil yang rentan terhadap perubahan iklim merupakan salah satu negara yang paling vokal mendukung kebijakan penghapusan bahan bakar fosil.
Negara-negara kepulauan kecil mendapat dukungan dari Barat seperti AS, Kanada, Norwegia, Uni Eropa, dan sejumlah negara lainnya.
“Ini adalah momen di mana multilateralisme benar-benar bersatu dan masyarakat mengambil kepentingan masing-masing dan berusaha menentukan kebaikan bersama,” kata utusan iklim AS John Kerry setelah kesepakatan tersebut diadopsi.
Di sisi lain, negosiator utama Aliansi Negara Pulau Kecil, Anne Rasmussen, mengkritik kesepakatan tersebut karena dinilai tidak ambisius.
Baca juga: Kesepakatan dengan Ambisi Iklim Tinggi Jadi Kemenangan COP28
“Kita telah membuat kemajuan bertahap, padahal yang benar-benar kita perlukan adalah langkah perubahan eksponensial dalam tindakan kami,” ujar Rasmussen.
Namun dia tidak secara resmi menolak perjanjian tersebut dan pidatonya mendapat tepuk tangan meriah yang berlangsung hampir dua menit.
Selain menyetujui bertransisi dari energi fosil, kesepakatan akhir COP28 juga menyerukan peningkatan kapasitas energi terbarukan secara global sebesar tiga kali lipat pada 2030.
Selain itu, mempercepat upaya pengurangan penggunaan batu bara, serta mempercepat penerapan teknologi penangkap dan penyimpan karbon terhadap industri-industri yang sulit melakukan dekarbonisasi.
Baca juga: COP28 Masuki Babak Akhir, Penghapusan Bahan Bakar Fosil Jadi Perdebatan Sengit
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya