ADA pertanyaan menarik dalam dialog calon wakil presiden (cawapres) yang diselenggarakan oleh TV One pada 8 Desember 2023 lalu, yang diikuti oleh cawapres nomor urut satu Muhaimin Iskandar dan cawapres nomor urut tiga Mahfud MD (cawapres nomor urut dua Gibran Rakabuming Raka tidak hadir).
Pertanyaan dilontarkan oleh Achmad Fauzan, mahasiswa dari Badan Perwakilan mahasiswa (BPM) Universitas Hasanudin (Unhas) Makassar.
Fauzan menyebut bahwa sektor kehutanan dulu adalah penyumbang devisa negara kedua terbesar setelah sektor migas pada era orde baru. Namun dari tahun ke tahun, telah mengalami degradasi dan deforestasi.
Pertanyaannya adalah apa solusi para cawapres untuk mengembalikan kejayaan sektor kehutanan, selain reboisasi, revitalisasi dan penghijauan yang nampaknya tidak/belum ada dampak yang signifikan selain menghabiskan anggaran.
Pertanyaannya sederhana, namun sangat mendasar karena menggugat masalah pengelolaan hutan, khususnya hutan alam tropika Indonesia yang selama ini telah dilakukan.
Pertanyaan sederhana mahasiswa Unhas tersebut seharusnya tidak dijawab dengan sederhana pula, apalagi normatif karena menyangkut masalah pengelolaan hutan seluas 120,3 juta hektare, baik kawasan yang masih ada tutupan hutannya (forest coverage) maupun kawasan hutan yang sudah tidak mempunyai tutupan hutannya (unforested).
Jawaban singkat kedua cawapres tersebut selengkapnya sebagai berikut:
Muhaimin Iskandar:
Hutan kita bukan hanya menjadi harapan ekonomi nasional kita atau solusi krisis iklim yang terjadi, tetapi hutan kita pada tingkat global menjadi salah satu penyumbang oksigen terbesar didunia.
Bahkan pertemuan COP, pertemuan organisasi di bawah PBB menyangkut lingkungan hidup ini memberikan harapan dan siap memberikan uang bagi Indonesia, untuk menanamkan berbagai kerja sama yang diharapkan kontribusi oksigennya mengurangi panas global. Sayangnya ini tidak dimanfaatkan dengan baik.
Dana-dana yang dijanjikan Amerika, Kanada, Eropa dan negara-negara besar agar kebutuhan oksigen global itu terjadi dapat kita ambil sebetulnya. Ini kreatifitas kita berkurang.
Maka salah satu menyelamatkan hutan kita karena anggaran kita terbatas. Uang untuk forestrasy atau penghutanan kembali juga terbatas, mau tidak mau harus melibatkan tingkat global.
Mereka juga menunggu, mereka cemas sekali dengan pemanasan global ini. Di COP di Inggris beberapa waktu lalu, bahkan komitmen untuk mengeluarkan dana besar, kita belum follow up dengan baik.
Di sisi lain manajemen pengelolaan hutan, ini gara-garanya lahan kita dikuasai segelintir orang yang seenaknya. Kita ingin ambil alih, untuk satu tekat kita hutankan kembali. Kita jadikan ekonomi yang melibatkan rakyat, adat dan sebagainya. Karena sentralisme segelintir orang menguasai lahan maka lahan itu tidak diurus.
Mahfud MD:
Saya kita standar. Apa yang harus dilakukan adalah reboisasi atau penghutanan kembali. Tetapi memang yang menarik dari itu kenapa itu harus dilakukan dan kenapa itu menjadi penting. Karena sekarang itu hak pengusahaan hutan (HPH), distribusi HPH sungguh tidak merata.
Sekelompok kecil orang menguasai ratusan ribu atau jutaan hektare dan pertanggungjawabannya tidak jelas dan tampak kolutif. Karena ini kok tampak perusahaan tertentu yang dapat, yang sana berusaha tidak dapat, yang satunya lagi susah.
Sehingga yang harus dilakukan pertama adalah penataan kembali HPH itu. Diratakan dan diperiksa kembali dan apakah syarat-syarat yang diperlukan untuk itu dipenuhi selama ini.
Masalah tata kelola kehutanan di Indonesia pernah saya tulis dalam Kolom Kompas.com yang berjudul “Sengkarut Pengelolaan Hutan Indonesia” (12/08/2023).
Dari awal negara ini dibentuk 1945, pengelolaan hutan alam bertumpu pada regulasi undang-undang (UU) No. 5 tahun 1967 tentang ketentuan-ketentuan pokok kehutanan.
Dalam UU tersebut yang dimaksud dengan pengelolaan hutan diartikan sebagai pengurusan hutan dalam arti luas, untuk mencapai manfaat hutan sebaik serta sebesar mungkin secara serba guna dan terus-menerus, baik langsung maupun tidak langsung.
Kegiatan pengurusan hutan termasuk di dalamnya antara lain pengusahaan hutan. Pengusahaan hutan bertujuan memperoleh dan meningggikan produksi hasil hutan guna pembangunan ekonomi nasional dan kemakmuran rakyat.
Dalam pengusahaan hutan diselenggarakan berdasarkan azas kelestarian hutan (forest sustainability). Disusul dengan Peraturan Pemerintah (PP) No. 21 tahun 1970 tentang hak pengusahaan hutan (HPH) dan hak pemungutan hasil hutan (HPHH).
Sejak saat itu, mulailah hutan alam dieksplotasi untuk kepentingan pembangunan ekonomi nasional dan kemakmuran rakyat.
Bonanza kayu oleh rezim orde baru selama tiga dekade dimanfaatkan sebagai penggerak roda pembangunan dan merupakan penyumbang devisa negara nomor dua setelah minyak bumi.
Akibatnya hutan alam diekploitasi habis-habisan untuk diekspor kayunya dalam bentuk bahan mentah log (gelondongan). Izin pengusahaan kayu alam dalam bentuk HPH (Hak Pengusahaan Hutan) baik asing maupun domestik terus bertambah.
Devisa negara yang disumbangkan hampir setara dengan minyak bumi, 9 miliar dollar AS per tahun terhadap pendapatan nasional.
Ekses yang timbul dari izin HPH yang tidak terkendali antara lain tidak cermatnya lokasi kawasan yang ditunjuk. Banyak kawasan hutan yang mestinya berfungsi lindung/termasuk hutan gambut masuk dalam wilayah HPH.
Sistem silvikultur TPTI (Tebang Pilih Tanam Indonesia) tidak dipatuhi di lapangan karena pengawasan aparat kehutanan setempat lemah. Singkatnya, kaidah kelestarian produksi hutan alam tidak berjalan dengan baik.
Ternyata kelestarian yang dijanjikan dalam regulasi sekelas UU belum terbukti. Jargon tentang timber estate sustainability management hanya terbatas pada diskursus atau wacana saja.
Faktanya, setelah bergantinya rezim dari orde baru ke rezim reformasi, seiring dengan pudarnya kejayaan kayu dari hutan alam Indonesia, muncul masalah baru yang sebenarnya sudah diperhitungkan sebelumnya, yaitu bencana ekologis akibat eksploitasi SDA hutan.
Kebakaran hutan dan lahan (karhutla) khususnya dari bekas hutan gambut yang menghasilkan bencana asap, selalu muncul setiap tahunnya memasuki musim kemarau seperti sekarang. Pemerintah pusat maupun daerah dibuat kalang kabut untuk mengatasi karhutla.
Konflik tenurial antarwarga dengan korporasi maupun dengan pemerintah terus terjadi dan tak ada habisnya. Hutan "open akses" terlantar akibat ditinggalkan oleh HPH bermasalah atau habis masa kontraknya terus bertambah jumlah dan luasnya. Luas lahan kritis dalam kawasan hutan terus bertambah.
Pemerintahan era reformasi yang sudah berjalan hampir 25 tahun, mencoba memperbaiki sengkarut pengelolaan hutan di Indonesia melalui regulasi dengan menerbitkan UU No. 41 tahun 1999 tentang kehutanan yang merupakan revisi dari UU No. 5/1967.
Meski HPH dan HPHH dalam UU 41/1999 berubah menjadi izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu-hutan alam (IUPHHK-HA) dan izin usaha pemungutan hasil hutan kayu-hutan alam (IUPHH-HA), dan sistem penebangan diperbaharui dengan metoda RIL (Reducing Impact Logging) dan sistem silvikulturnya ditambah dan disempurnakan dengan silin (silvikultur intensif), namun dalam praktik di lapangan kedua sistem tersebut tidak jauh beda.
Pengawasan kehutanan yang diharapkan mampu untuk meredam dan mengurangi penyimpangan pengelolaan hutan di lapangan kurang berjalan baik dan lemah.
Faktanya, pengawasan kehutanan bermasalah karena banyak sebab. Tiga di antaranya adalah, pertama, urusan pengawasan hutan menjadi tanggung jawab penuh pemerintah pusat dan kewenangannya tidak dilimpahkan provinsi, apalagi kabupaten.
Kedua, jumlah jagawana (polisi kehutanan) di seluruh Indonesia sekitar 7.000 orang, tidak sebanding dengan luas kawasan hutan 125,2 juta hektare.
Artinya, 1 jagawana menjaga 18.000 hektare kawasan hutan. Idealnya 1 jagawana hanya menjaga 500-1000 hektare. Sehingga jumlah ideal polisi hutan seharusnya 125.000.
Ketiga, pemerintah pusat terlalu jauh kewenangannya mengawasi hutan yang ada di tingkat tapak. Dalam ilmu manajemen modern, untuk memperoleh pengawasan yang efektif apabila rentang kendali ada pada dua tingkat di bawahnya.
Meskipun jargonnya pengelolaan hutan sering diganti-ganti dari timber estate sustainability management menjadi community based forest management dan terakhir sustainable landscape management, namun kebijakan pengelolaan hutan banyak yang bersifat lepas, parsial dan kadang menimbulkan anomali yang sering menimbulkan sengkarut dalam pelaksanaan di tingkat tapak.
Misalnya, kebijakan moratorium pembukaan hutan alam dan gambut. Era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tahun 2011, dan kemudian diperpanjang selama empat kali sejak 2011, dan ditetapkan sebagai moratorium permanen pada era Presiden Joko Widodo.
Namun, di sisi lain melalui UU Cipta Kerja dan PP No 23/2021 tentang penyelenggaraan kehutanan masih dibuka peluang IUPHHK-HA dalam kawasan hutan produksi pada hutan alam primer.
Sementara, program membangun hutan oleh pemerintah dan korporasi yang telah dilakukan puluhan tahun belum nampak hasilnya secara signifikan.
Puluhan tahun, Indonesia membangun hutan dari sejak adanya Inpres Reboisasi dan Penghijauan 1976 dan berubah menjadi program rehabilitasi hutan dan lahan (RHL) hingga sekarang dengan biaya triliunan rupiah. Namun hasilnya tidak nampak sebagai ekosistem hutan yang utuh.
Apa yang keliru dengan program ini? Selama ini pola dan mekanisme RHL yang dilaksanakan pemerintah sejak era orde baru hingga hari ini, pada prinsipnya tidak berubah sama sekali.
Dalam membangun hutan melalui kegiatan penanaman tanaman hutan (revegetasi) masih menggunakan pola dan mekanisme pemeliharaan tahun pertama (tanaman umur 2 tahun) dan pemeliharaan tahun kedua (tanaman umur 3 tahun).
Selebihnya, mulai tanaman umur 4 tahun dan seterusnya untuk menjadi pohon dewasa yang berumur minimal 15 tahun, pemeliharaan dan proses tumbuh kembangnya tanaman diserahkan sepenuhnya kedalam mekanisme alam tanpa adanya sentuhan manusia lagi.
KLHK masih juga menggunakan paradigma lama dengan menyodorkan angka-angka dan data luas tanaman yang ditanami tanaman hutan saja setiap tahun, tanpa mampu melaporkan berapa luas tanaman hutan yang benar-benar menjadi hutan dalam arti yang sebenarnya.
Dalam refleksi akhir 2022 Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Direktur Jenderal Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Rehabilitasi Hutan menyatakan bahwa luas rehabilitasi hutan dan lahan 2022 seluas 77.103 hektare, termasuk rehabilitasi mangrove.
Tak ada penjelasan nasib rehabilitasi hutan tahun-tahun sebelumnya. Apakah masuk kategori berhasil, setengah berhasil atau bahkan gagal total.
Di era krisis iklim, rehabilitasi hutan mestinya menjadi kegiatan prioritas karena menaikkan serapan emisi karbon sebagai satu cara mitigasi iklim.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa MRV (measurement, reporting and verification) untuk program RHL, baik rehabilitasi hutan maupun rehabilitasi mangrove hingga saat ini belum terdapat perubahan signifikan dan tata kelola administrasinya sangat lemah.
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 23/2021 menyebutkan laporan hasil pengawasan dan berita acara penilaian untuk kegiatan reboisasi pada pemeliharaan II (tanaman umur tiga tahun) yang telah diserahterimakan dari pemerintah pusat kepada pemangku kawasan, pengelola kawasan, dinas provinsi/kabupaten/kota sesuai kewenangannya dilakukan pemeliharaan lanjutan dan pengamanan. Sinergi ini yang belum ada.
Tata kelola administrasi pengukuran, pemantauan, dan verifikasi (MRV) rehabilitasi hutan belum menjadi portofolio pemerintah dan terdokumentasi dengan baik.
Rehabilitasi tak sekadar menanam, karena pohon yang berfungsi menciptakan iklim mikro biasanya pohon dewasa dengan usia 15 tahun.
Dalam buku Status Hutan dan Kehutanan Indonesia 2018, ada data rehabilitasi hutan dan lahan pada 2015 seluas 200.447 hektare, 2016 seluas 198.346 hektare, 2017 seluas 200.900 hektare, 2018 seluas 188.630 hektare, 2019 seluas 396.168 hektare, 2021 seluas 152.454 hektare, dan 2022 seluas 112.418 hektare.
Dari data terlihat bahwa luas data rehabilitasi hutan tahun 2015, 2016, dan 2017 sampai akhir 2022 ini tidak berubah. Padahal waktu membuat pohon bertumbuh.
Sehingga datanya mestinya tersaji setiap tahun untuk mengukur keberhasilan rehabilitasi hutan tahun sebelumnya.
KLHK sebagai otoritas dan penanggung jawab kegiatan RHL di Indonesia, belum mampu menyusun dan menyajikan data keberhasilan RHL (khususnya hutan yang telah dibangun seperti hutan Wanagama di Gunung Kidul, DIY) berdasarkan time series yang runut dan logis berikut bukti portofolionya.
Gagasan penyelesaian solusi pengelolaan hutan yang disampaikan oleh kedua cawapres 2024 nomor urut 1 dan nomor urut 3, tidak ada hal yang baru karena telah dilakukan semua pada era pemerintahan Presiden Joko Widodo.
Pemanfaatan hutan alam tropika basah yang masih utuh di Indonesia, sebagai tempat menyerap karbon untuk menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) secara global telah dilakukan Indonesia dengan membuat road map (peta jalan) kontribusi yang ditetapkan secara nasional (nasionally determined contributions/NDC).
Demikian halnya dengan pemanfaatan nilai ekonomi karbon, Indonesia telah memanfaatkan perdagangan karbon melalui bursa karbon yang telah diresmikan Presiden pada September 2023 lalu.
Usul tentang keterlibatan masyarakat untuk mengelolas kawasan hutan, telah dibuka seluas-luasnya melalui UU Cipta Kerja bidang kehutanan dan PP no. 23/2021 tentang penyelenggaraan kehutanan.
Masyarakat yang tinggal di dalam dan di sekitar hutan termasuk masyarakat hukum adat diberikan akses seluas-luasnya melalui kegiatan perhutanan sosial.
Penguasaan lahan hutan oleh segelintir atau sekelompok orang/koorporasi, sejak era reformasi berangsur-angsur lambat, tapi pasti telah berkurang dengan sendirinya karena habis kontraknya atau dicabut oleh pemerintah di tengah jalan karena melanggar aturan yang telah disepakati.
Hanya korporasi berkinerja baik saja yang mampu bertahan, baik karena kontraknya diperpanjang atau memperoleh perizinan baru.
Buktinya dari kurang lebih 600 unit HPH pada 2000 lalu, hingga 2020, HPH (sekarang disebut Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Kayu Hutan Alam/ IUPHHK-HA) yang mampu bertahan tinggal 257 unit korporasi dengan luas 18,75 juta hektare.
Sementara hutan tanaman industri (HTI) yang sekarang berubah namanya menjadi Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu-Hutan Tanaman/IUPHHK-HT) tersisa 292 unit korporasi dengan luas 11,19 juta hektare.
Kesimpulannya, konsepsi pengelolaan hutan yang ditawarkan Muhaimin dan Mahfud belum menyentuh pada akar permasalahan pengelolaan hutan Indonesia yang kompleks dan sangat luas bila dikaitkan dengan perubahan iklim global saat ini.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya