KOMPAS.com - Dunia tengah menghadapi ancaman krisis iklim yang semakin serius. Berbagai kejadian ekstrem seperti bencana, kekeringan, gelombang panas, menerpa dunia akhir-akhir ini.
Bahkan, layanan pemantau iklim bentukan Uni Eropa, Copernicus Climate Change Service (C3S), memprediksi 2023 akan menjadi tahun terpanas sejak pencatatan suhu dilakukan beberapa abad yang lalu.
Wakil Direktur C3S Samantha Burgess mengatakan, hingga Oktober 2023 saja, rata-rata suhu Bumi sudah 1,43 derajat.
Baca juga: Tahukah Anda? Gajah Afrika Berperan Penting Lawan Perubahan Iklim
Angka tersebut mendekati ambang batas 1,5 derajat celsius yang telah disepakati dunia internasional dalam Perjanjian Paris pada 2015.
Penyebab utama naiknya suhu Bumi ini disebabkan oleh pembakaran bahan bakar fosil yang melepaskan emisi gas rumah kaca (GRK), sehingga secara akumulatif memerangkap sinar matahari lebih banyak.
Namun, di tengah berbagai fenomena yang suram tersebut, ada beberapa tanda-tanda kemajuan.
Berikut empat kabar positif sepanjang 2023 dalam hal kemajuan perlawanan perubahan iklim, sebagaimana dilansir CNN.
Baca juga: Malang Raya Butuh Pemimpin Pro-Iklim
Pengembangan energi terbarukan di dunia semakin cepat dan berpilat ganda dalam beberapa tahun terakhir.
Menurut International Energy Agency (IEA), 2023 dunia berada pada jalur peningkatan kapasitas energi terbarukan terbesar hingga saat ini.
Kabar baik datang dari Portugal. Selama lebih dari enam hari berturut-turut, mulai 31 Oktober hingga 6 November, negara berpenduduk lebih dari 10 juta orang ini mengandalkan 100 persen energi terbarukan.
Sedangkan China, penghasil emisi terbesar di Bumi, mencapai kemajuan pesat dalam bidang energi terbarukan.
Sebuah laporan yang diterbitkan pada Juni menyampaikan, kapasitas pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) di China lebih besar dibandingkan gabungan kapasitas negara-negara lain di dunia.
Baca juga: Peduli Krisis Iklim, Sinarmas Land Tanam 1.270 Pohon di Tiga Wilayah
KTT iklim COP28 di Dubai, Uni Emirat Arab (UEA), berakhir pada 13 Desember siang. Para perwakilan dari hampir 200 negara sepakat untuk bertransisi dari bahan bakar fosil.
Frasa yang disepakati dalam keputusan tersebut adalah: bertransisi dari bahan bakar fosil ke dalam sistem energi, dengan cara yang adil, bertahap, dan merata sehingga dapat mencapai nol emisi pada 2050 sesuai dengan sains.
Meskipun perjanjian tersebut tidak mewajibkan dunia untuk menghentikan penggunaan batu bara, minyak, dan gas perjanjian tersebut tetap menyerukan negara-negara untuk berkontribusi dalam transisi.
Hal ini menandai pertama kalinya seluruh bahan bakar fosil, penyebab utama krisis iklim, menjadi sasaran perjanjian COP.
Presiden COP28 Sultan Al Jaber menyebut kesepakatan itu bersejarah. Akan tetapi, dia menegaskan keberhasilan sebenarnya dari kesepakatan tersebut terletak pada implementasinya.
Baca juga: Dukung Mitigasi Perubahan Iklim, Pemerintah Perkuat Ekosistem Karbon Biru
Selama bertahun-tahun, deforestasi di Hutan Amazon Brasil terus meningkat. Namun, tahun ini ada kabar yang baik, tingkat deforestasi di dana menurun.
Menurut data Pemerintah Brasil, deforestasi di Hutan Amazon turun sebesar 22,3 persen dalam 12 bulan hingga Juli.
Marcio Astrini, ketua kelompok advokasi Climate Observatory, menggambarkan penurunan deforestasi ini sebagai hasil yang mengesankan.
Amazon adalah hutan hujan terbesar di dunia. Upaya perlindungannya dipandang penting untuk mengendalikan perubahan iklim.
Hutan bertindak sebagai penyerap karbon yang menyedot polusi. Ketika hutan dirusak, emisi GRK lepas ke atmosfer.
Namun, laju deforestasi di Brasil masih dua kali lipat dibandingkan angka terendah sepanjang masa pada 2012.
Baca juga: Penyandang Disabilitas Sangat Rentan Krisis Iklim, Perlu Bantuan yang Tepat
Lapisan ozon bumi akan pulih sepenuhnya dalam beberapa dekade, sebuah panel ahli yang didukung PBB mengumumkan pada Januari, seiring dengan dihapuskannya bahan kimia perusak ozon di seluruh dunia.
Lapisan ozon melindungi planet ini dari sinar ultraviolet yang berbahaya. Sejak 1980-an, para ilmuwan telah memperingatkan adanya lubang akibat zat-zat yang merusak ozon, termasuk klorofluorokarbon (CFC), yang banyak digunakan dalam pendingin ruangan (AC), lemari es, aerosol, dan lainnya.
Kerja sama internasional telah membantu membendung dampak buruk ini. Sebuah kesepakatan yang dikenal sebagai Protokol Montreal, yang mulai berlaku pada tahun 1989, memulai penghapusan CFC secara bertahap.
Pemulihan lapisan ozon selanjutnya dipuji sebagai salah satu pencapaian lingkungan hidup terbesar di dunia.
Jika kebijakan penghapusan CFC tetap diterapkan, lapisan ozon diperkirakan akan pulih ke tingkat tahun 1980 pada 2040 di sebagian besar dunia.
Untuk wilayah kutub, jangka waktu pemulihannya lebih lama: tahun 2045 di Kutub Utara dan 2066 di Kutup Selatan.
Baca juga: Pemerintah Alokasikan Pendanaan Proyek Mitigasi Iklim dalam APBN
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya