Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Pramono Dwi Susetyo
Pensiunan

Pemerhati masalah kehutanan; penulis buku

"Food Estate" di Antara Pusaran Pilpres 2024

Kompas.com, 5 Januari 2024, 16:29 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

ADA perdebatan yang cukup keras tentang proyek "food estate" sebagai lumbung pangan yang digencarkan Presiden Joko Widodo dalam pusaran pemilihan presiden (pilpres) 2024.

Pasangan nomor urut satu Anies Baswedan–Muhaimin Iskandar menolak food estate dan akan mengganti dengan program “contract farming”. Paslon nomor urut dua Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming mendukung penuh dan akan melanjutkan program food estate.

Sementara paslon nomor urut tiga Ganjar Pranowo-Mahmud MD pro terhadap program food estate, tetapi dengan beberapa catatan tidak merusak lingkungan.

Program food estate menjadi jualan yang paling mudah bagi para capres dan cawapres untuk menaikkan elektabilitas.

Pasalnya, urusan pangan, khususnya beras sebagai bahan pangan pokok masyarakat Indonesia merupakan kebutuhan dasar yang menyangkut hajat hidup penduduk yang jumlahnya mencapai 270,2 juta jiwa (Sensus Peduduk BPS tahun 2020).

Paslon nomor urut satu menganggap program food estate gagal total dan harus dihentikan dan diganti dengan program lain.

Sementara paslon pendukung menilai food estate harus tetap dilanjutkan untuk mendukung ketahan pangan, dengan beberapa penyempurnaan dan catatan.

Sebenarnya food estate dengan sejumlah kekurangan sudah diterapkan pada zaman Presiden Soeharto dan dilanjutkan era Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan dimasifkan era Presiden Joko Widodo.

Mengapa program food estate baru diributkan sekarang? Sebagai pengamat pertanian, kehutanan dan lingkungan, saya mencoba menguliknya sebagai berikut:

Cerita sukses program food estate

Sejak sebelum Indonesia merdeka, pemerintah Hindia Belanda melalui para ahli pertanian, perkebunan dan kehutanan sebenarnya telah memetakan wilayah Indonesia menjadi zona-zona komoditas pertanian (termasuk perkebunan dan kehutanan) berdasarkan agroklimatnya dengan baik.

Komoditas padi yang merupakan makanan pokok bangsa Indonesia, cocok dan sesuai secara agroklimat hampir sebagian besar di pulau Jawa yang tanahnya subur dari tanah vulkanis (banyak terdapat gunung berapi) dengan curah hujan cukup.

Selain itu, sebagian pulau Sumatera (Aceh, Sumut, Sumbar, Lampung), sebagian pulau Sulawesi (Sulut, Sulsel) dan pulau Bali.

Demikian juga dengan perkebunan karet dapat ditemukan di Sumut, Jabar, Bengkulu. Komoditas sawit sangat terkenal di Sumut, yang hasil buah sawitnya tiga kali lipat TBS (tandan buah segar) dari kebun sawit yang ditanam di Kalteng.

Komoditas kebun teh dapat dijumpai di daerah pegunungan seperti di Puncak Bogor, Bumiayu di Tegal, Kayu Aro, di Kerinci dan terbukti hasilnya sangat baik.

Sebagian daerah berkapur di Jateng dan Jatim serta di pulau Muna Sultra, sangat cocok untuk habitat pohon jati yang mempunyai nilai ekonomis tinggi.

Terlepas adanya intervensi teknologi (benih, pemumpukan, tata air, mekanisasi, pemasaran dan lain-lain), seharusnya pemerintah belajar dari warisan yang baik dari pemerintah Hindia Belanda dulu dengan mengedepankan aspek agroklimat sebagai faktor utama. Sementara intervensi teknologi adalah faktor pendukung untuk meningkatkan produksinya.

Konsep food estate selain PLG satu juta hektare di Kabupaten Kapuas Kalteng yang gagal itu, telah juga dilaksanakan di Kabupaten Marauke Papua melalui MIFEE (Merauke Integrated Food and Energi Estate) atau program pengembangan pangan dan energi yang dikelola secara terpadu di wilayah Merauke, Provinsi Papua, dengan skala areal sangat luas yang dicanangkan oleh pemerintahan era SBY tahun 2010.

Kementerian Pertanian mencanangkan luas areal seluas 2,5 juta hektare dan direkomendasikan Badan Koordinasi Pemanfaatan Ruang Nasional (BKPRN) sebesar 1.282.833 hektare atau sekitar 30 persen dari luas wilayah Kabupaten Merauke, faktanya saat ini belum ada cerita suksesnya, baik realisasi maupun produksi pangannya.

Keseriusan program food estate baru dilakukan pemerintah Jokowi tahun 2020 lalu, sebagai lumbung pangan dalam rangka ketahanan dan kemandirian pangan bangsa Indonesia setelah terjadinya pandemi Covid 19.

Pemerintah menggarap 130.000 hektare lahan di Kabupaten Kapuas dan Pulang Pisau Kalteng sebagai sentra food estate dengan intervensi teknologi dan modal yang memadai.

Di samping itu, pemerintah juga menyiapkan lahan seluas 30.000 hektare di Kabupaten Humbang Hasundutan Sumut, yang baru dimulai 1000 hektare tahun 2020.

Tidak semua lahan gambut tidak cocok untuk tanaman padi. Namun, tidak semuanya gagal. Terbukti ada sebagian sawah dari satu juta hektare tersebut hingga saat ini masih menjadi sawah di Kabupaten Pulang Pisau (merupakan pemekaran Kabupaten Kuala Kapuas), Kalteng.

Meskipun hasil dari food estate di Kalteng belum optimal, namun Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo (waktu itu) mengaku cukup puas dengan penambahan luas penanaman padi pada program food estate di Kabupaten Kapuas dan Pulang Pisau, Kalteng.

Target luas penanaman padi di food estate Dadahup, Kapuas seluas 1.020 hektare dan kondisi sekarang yang tertanami 200 hektare dengan perkiraan produksi di atas 4 ton.

Halaman:

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of
Baca tentang


Terkini Lainnya
Lebih dari Sekadar Musikal, Jemari Hidupkan Harapan Baru bagi Komunitas Tuli pada Hari Disabilitas Internasional
Lebih dari Sekadar Musikal, Jemari Hidupkan Harapan Baru bagi Komunitas Tuli pada Hari Disabilitas Internasional
LSM/Figur
Material Berkelanjutan Bakal Diterapkan di Hunian Bersubsidi
Material Berkelanjutan Bakal Diterapkan di Hunian Bersubsidi
Pemerintah
Banjir Sumatera: Alarm Keras Tata Ruang yang Diabaikan
Banjir Sumatera: Alarm Keras Tata Ruang yang Diabaikan
Pemerintah
Banjir Sumatera, Penyelidikan Hulu DAS Tapanuli Soroti 12 Subyek Hukum
Banjir Sumatera, Penyelidikan Hulu DAS Tapanuli Soroti 12 Subyek Hukum
Pemerintah
Banjir Sumatera, KLH Setop Operasional 3 Perusahaan untuk Sementara
Banjir Sumatera, KLH Setop Operasional 3 Perusahaan untuk Sementara
Pemerintah
Berkomitmen Sejahterakan Umat, BSI Maslahat Raih 2 Penghargaan Zakat Award 2025
Berkomitmen Sejahterakan Umat, BSI Maslahat Raih 2 Penghargaan Zakat Award 2025
BUMN
Veronica Tan Bongkar Penyebab Pekerja Migran Masih Rentan TPPO
Veronica Tan Bongkar Penyebab Pekerja Migran Masih Rentan TPPO
Pemerintah
Mengapa Sumatera Barat Terdampak Siklon Tropis Senyar Meski Jauh? Ini Penjelasan Pakar
Mengapa Sumatera Barat Terdampak Siklon Tropis Senyar Meski Jauh? Ini Penjelasan Pakar
LSM/Figur
Ambisi Indonesia Punya Geopark Terbanyak di Dunia, Bisa Cegah Banjir Terulang
Ambisi Indonesia Punya Geopark Terbanyak di Dunia, Bisa Cegah Banjir Terulang
Pemerintah
Saat Hutan Hilang, SDGs Tak Lagi Relevan
Saat Hutan Hilang, SDGs Tak Lagi Relevan
Pemerintah
Ekspansi Sawit Picu Banjir Sumatera, Mandatori B50 Perlu Dikaji Ulang
Ekspansi Sawit Picu Banjir Sumatera, Mandatori B50 Perlu Dikaji Ulang
LSM/Figur
SBTi Rilis Peta Jalan untuk Industri Kimia Global
SBTi Rilis Peta Jalan untuk Industri Kimia Global
Pemerintah
Bukan Murka Alam: Melacak Jejak Ecological Tech Crime di Balik Tenggelamnya Sumatra
Bukan Murka Alam: Melacak Jejak Ecological Tech Crime di Balik Tenggelamnya Sumatra
Pemerintah
Agroforestri Sawit: Jalan Tengah di Tengah Ancaman Banjir dan Krisis Ekosistem
Agroforestri Sawit: Jalan Tengah di Tengah Ancaman Banjir dan Krisis Ekosistem
Pemerintah
Survei FTSE Russell: Risiko Iklim Jadi Kekhawatiran Mayoritas Investor
Survei FTSE Russell: Risiko Iklim Jadi Kekhawatiran Mayoritas Investor
Swasta
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau