KOMPAS.com - Ketua Kanopi Hijau Indonesia sekaligus Penanggungjawab Konsorsium Bentang Seblat (KBS) Ali Akbar meminta agar jangan ada lagi gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) yang terindikasi mati karena dibunuh.
Dia menuturkan, KBS menuntut negara untuk membuka informasi secara lengkap atas kondisi hutan.
"Dan segera melakukan penindakan terhadap kejahatan satwa gajah," kata Ali Akbar di Bengkulu, Sabtu (6/1/2024), sebagaimana dilansir Antara.
Baca juga: Tahukah Anda? Gajah Afrika Berperan Penting Lawan Perubahan Iklim
Dia menambahkan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) perlu melakukan tindakan untuk memastikan tidak terjadi lagi kematian gajah non-alami, apalagi kematian gajah yang sekarang terindikasi dibunuh.
Sebelumnya, seekor gajah sumatera liar berjenis kelamin betina, induk dewasa berumur 20 tahun, ditemukan mati pada 31 Desember 2023.
Gajah ini ditemukan tak jauh dari jalan loging dalam kawasan Hutan Produksi Terbatas Air Ipuh 1 register 65, sekitar 3,5 kilometer dari batas Taman Nasional Kerinci Seblat, Kabupaten Mukomuko, Provinsi Bengkulu.
"Pada tengkorak bangkai gajah terdapat lubang, diduga akibat tembakan peluru senjata api. Lubang sebesar kurang lebih 1,5 sentimeter (cm) itu tembus dari bagian bawah rahang sampai ke os frontalis (tengkorak bagian depan atau dahi)," ucap Ali.
Baca juga: Kekeringan Parah, Puluhan Gajah di Zimbabwe Mati Kehausan
Ali menyatakan, kondisi tutupan lahan di Bentang Alam Seblat saat ini menunjukkan ketidakseriusan dalam mengamankan kawasan hutan.
Hal itu dibuktikan dengan tingginya aktivitas perambahan dan penguasaan hutan di Bentang Alam Seblat.
Di Bentang Alam Seblat, kata dia, lahan tak berhutan itu didominasi oleh perkebunan sawit seluas 15.000 hektare (48,1 persen), semak belukar 7.900 hektar (25,6 persen), perkebunan perusahaan 5.400 ribu hektar (17,5 persen), dan lahan terbuka 2.000 hektare (6,6 persen).
Dilihat dari data analisis periode 2020-2023, tutupan hutan Bentang Alam Seblat telah hilang seluas 8.800 hektare.
Baca juga: 50 Tahun SMBR, Peluncuran Buku Sang Tiga Gajah dan Komitmen SDGs
Tutupan lahan sekunder menjadi yang paling besar, seluas 8.800 ribu hektare, di mana 5.600 ribu hektar atau 64,5 persen dirambah menjadi lahan pertanian sawit.
Kondisi tersebut akhirnya membuat "rumah" gajah sumatera di Bengkulu semakin hilang. Karena habitat gajah semakin terdesak, hal itu tentu juga menjadi ancaman nyata kepunahan bagi spesies tersebut.
Oleh karena itu, butuh upaya dari berbagai pihak untuk memastikan rumah bagi gajah sumatera di Bengkulu tetap terjaga dengan baik.
Selain itu terhindar dari perambahan, penebangan, serta tidak terjadinya alih fungsi hutan lindung habitat gajah menjadi perkebunan maupun lahan tambang.
Baca juga: Anak Gajah Betina Lahir Selamat di Wilayah Konservasi Aceh
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya