Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com, 12 Januari 2024, 17:00 WIB
Hilda B Alexander

Penulis

KOMPAS.com - Proyek giant sea wall kembali mengemuka saat Calon Presiden (Capres) Nomor Urut 2 Prabowo Subianto berbicara pada Seminar Nasional yang digelar di Grand Ballroom Hotel Indonesia Kempinski, Jakarta, Rabu (10/1/2024).

Ketika bicara tentang tanggul laut raksasa atau giant sea wall, tak afhdal rasanya jika tak menyinggung Belanda.

Mengapa demikian? Karena sebagian besar wilayah Belanda terletak dekat dengan permukaan laut. Jadi, tidak mengherankan jika mereka memiliki giant sea wall senilai miliaran dolar AS yang melindungi tanah mereka.

Seperti diketahui, Belanda terkenal dengan banjirnya, dan hal ini tidak mengejutkan karena separuh wilayah negara ini terletak hanya satu meter di atas permukaan laut, dan lebih dari seperdelapan wilayahnya berada di bawah permukaan laut.

Negeri berjuluk Kincir Angin ini memiliki sejarah banjir yang panjang sejak ratusan tahun yang lalu dengan ratusan ribu kematian akibat gelombang badai besar yang menghancurkan tanah, rumah, atau masyarakat di sekitarnya.

Baca juga: Sempat Tenggelam, Kini Rotterdam Jadi Pengekspor Solusi Banjir

Salah satu gelombang terburuk terjadi pada 5 November tahun 1530. Saat itu, badai dahsyat menciptakan gelombang besar yang menghancurkan penghalang gelombang badai kecil, menyapu bendungan, dan merusak tanggul, serta menewaskan lebih dari 100.000 orang.

Mengingat bentang alamnya, pemerintah Belanda kemudian berusaha mencari beragam solusi yang dapat membantu penduduk di lokasi tersebut.

Mereka berhasil melakukannya dengan membangun sistem kanal khusus, parit, kincir angin, bendungan, dan sebagainya. Saat ini, konstruksi megah ini membuat perbedaan antara hidup dan mati di banyak wilayah negara.

Namun, tepian sungai yang tinggi menyebabkan lebih banyak air menumpuk, perlahan-lahan mengikis tanggul atau meluap saat terjadi lonjakan air, melepaskan air dalam jumlah besar ke tepian sungai, yang sekali lagi mendatangkan malapetaka di Belanda.

Belanda pun menggunakan kincir angin besar untuk memompa air keluar dari saluran, mengarahkannya kembali ke laut.

Solusi ini bertahan bertahun-tahun, membantu membubarkan lonjakan kasus dan menurunkan angka kematian. Namun, solusi tersebut tidak bersifat permanen dan pemerintah masih terus harus mencari solusi baru.

Revolusi Modern

Pada tahun 1953, banjir besar di Laut Utara menghancurkan tanggul, bendungan, dan tembok laut, menghanyutkan semua yang dilewatinya.

Banjir tersebut mengakibatkan 1.836 korban jiwa, dan menggenangi 200.000 hektar lahan. Pemerintah Belanda pun menyadarinya bahwa solusi harus ditemukan dengan cepat.

Sebuah komisi kemudian dibentuk segera setelah itu, yang disertai dengan rencana yang disebut Deltaplan atau Delta Works, sebuah proyek untuk merevitalisasi tanggul dan bendungan sepanjang 3.700 kilometer.

Salah satu fitur terbesarnya adalah tembok laut besar yang menelan biaya hingga 2,5 miliar dolar AS. Rencana tersebut mencakup bendungan yang dirancang secara revolusioner dengan menggunakan gerbang yang dapat dilepas dan berongga serta memiliki kemampuan untuk mengapung.

Baca juga: Ancaman Banjir Rob dan Penurunan Muka Tanah

Halaman:

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Terkini Lainnya
Tren Global Rendah Emisi, Indonesia Bisa Kalah Saing Jika Tak Segera Pensiunkan PLTU
Tren Global Rendah Emisi, Indonesia Bisa Kalah Saing Jika Tak Segera Pensiunkan PLTU
LSM/Figur
JSI Hadirkan Ruang Publik Hijau untuk Kampanye Anti Kekerasan Berbasis Gender
JSI Hadirkan Ruang Publik Hijau untuk Kampanye Anti Kekerasan Berbasis Gender
Swasta
Dampak Panas Ekstrem di Tempat Kerja, Tak Hanya Bikin Produktivitas Turun
Dampak Panas Ekstrem di Tempat Kerja, Tak Hanya Bikin Produktivitas Turun
Pemerintah
BMW Tetapkan Target Iklim Baru untuk 2035
BMW Tetapkan Target Iklim Baru untuk 2035
Pemerintah
Lebih dari Sekadar Musikal, Jemari Hidupkan Harapan Baru bagi Komunitas Tuli pada Hari Disabilitas Internasional
Lebih dari Sekadar Musikal, Jemari Hidupkan Harapan Baru bagi Komunitas Tuli pada Hari Disabilitas Internasional
LSM/Figur
Material Berkelanjutan Bakal Diterapkan di Hunian Bersubsidi
Material Berkelanjutan Bakal Diterapkan di Hunian Bersubsidi
Pemerintah
Banjir Sumatera: Alarm Keras Tata Ruang yang Diabaikan
Banjir Sumatera: Alarm Keras Tata Ruang yang Diabaikan
Pemerintah
Banjir Sumatera, Penyelidikan Hulu DAS Tapanuli Soroti 12 Subyek Hukum
Banjir Sumatera, Penyelidikan Hulu DAS Tapanuli Soroti 12 Subyek Hukum
Pemerintah
Banjir Sumatera, KLH Setop Operasional 3 Perusahaan untuk Sementara
Banjir Sumatera, KLH Setop Operasional 3 Perusahaan untuk Sementara
Pemerintah
Berkomitmen Sejahterakan Umat, BSI Maslahat Raih 2 Penghargaan Zakat Award 2025
Berkomitmen Sejahterakan Umat, BSI Maslahat Raih 2 Penghargaan Zakat Award 2025
BUMN
Veronica Tan Bongkar Penyebab Pekerja Migran Masih Rentan TPPO
Veronica Tan Bongkar Penyebab Pekerja Migran Masih Rentan TPPO
Pemerintah
Mengapa Sumatera Barat Terdampak Siklon Tropis Senyar Meski Jauh? Ini Penjelasan Pakar
Mengapa Sumatera Barat Terdampak Siklon Tropis Senyar Meski Jauh? Ini Penjelasan Pakar
LSM/Figur
Ambisi Indonesia Punya Geopark Terbanyak di Dunia, Bisa Cegah Banjir Terulang
Ambisi Indonesia Punya Geopark Terbanyak di Dunia, Bisa Cegah Banjir Terulang
Pemerintah
Saat Hutan Hilang, SDGs Tak Lagi Relevan
Saat Hutan Hilang, SDGs Tak Lagi Relevan
Pemerintah
Ekspansi Sawit Picu Banjir Sumatera, Mandatori B50 Perlu Dikaji Ulang
Ekspansi Sawit Picu Banjir Sumatera, Mandatori B50 Perlu Dikaji Ulang
LSM/Figur
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau