KOMPAS.com - Indonesia memiliki potensi energi panas bumi yang melimpah mencapai 23 gigawatt (GW) yang tersebar dari Sabang sampai Merauke.
Akan tetapi, Ketua Umum Asosiasi Panas Bumi Indonesia (API) Julfi Hadi menyampaikan, pengembangan panas bumi sebagai salah satu sumber energi terbarukan masih sangat pelan.
Hal tersebut disampaikan Alfi dalam webinar bertajuk "Strategi Penciptaan Nilai Panas Bumi Sebagai Langkah Mendukung Net Zero Emission 2060" yang digelar oleh Reforminer Institute yang dipantai secara daring, Senin (15/1/2024).
Baca juga: Pemerintah Daerah Didorong Aktif Fasilitasi Pengembangan Panas Bumi
"Kalau mau akselerasi (pengembangan panas bumi) perlu kolaborasi IPP (independen power producers atau perusahaan pembangkit listrik swasta), PLN, dan pemerintah. Ini satu-satunya jalan untuk bisa akselerasi," kata Alfi.
Dari total potensi yang ada, menurut Handbook of Energy & Economic Statistics of Indonesia 2022 yang dirilis Kementerian ESDM, potensi panas bumi yang baru dimanfaatkan menjadi pembangkit listrik tenaga pansa bumi (PLTP) baru sebesar 2.286 megawatt (MW).
Menurut Alfi, setidaknya ada empat hambatan pengembangan panas bumi di Indonesia.
Pertama, energi yang dihasilkan dari PLTP hanya punya satu pembeli sehingga harga jualnya sangat tergantung pembeli tersebut.
Baca juga: Kembangkan Panas Bumi Indonesia, Pertamina Bidik Kerja Sama Mitra Global
Jika kondisi ini tidak diubah, maka pemerintah perlu membuat pengembangan yang ideal seperti memberi insentif, subsidi tarif, dukungan infrastuktur, dan membantu mengurangi risiko eksplorasi.
Kedua, kurangnya pengembangan teknologi di PLTP dibandingkan industri hulu lain seperi minyak dan gas.
Untuk itu, diperlukan kolaborasi dengan semua pihak untuk menggenjot pengembangan inovasi teknologi guna efisiensi operasional pembangkit.
Ketiga, kurangnya pengembangan produk sampingan sebagai sumber pendapatan lain dari PLTP.
Baca juga: Energi Panas Bumi: Masa Depan Ketenagalistrikan Indonesia
Produk samping yang dimaksud contohnya hidrogen hijau, ekstraksi silika, metanol hijau perlu dikembangkan untuk meningkatkan pendapatan PLTP yang bisa mengompensasi operasionalnya.
Keempat, kurangnya kemampuan teknologi peralatan dalam rantai pasok buatan dalam negeri meski potensi panas bumi melimpah ruah.
Diperlukan peningkatan produksi peralatan PLTP penting di Indonesia untuk memangkas harga, waktu, dan meningkatkan pendapatan PLTP.
Menurut Alfi, agar potensi panas bumi tergarap dengan optimal, perlu juga pembaruan model bisnis yang ada saat ini.
"Menciptakan nilai untuk meningkatkan kelayakan komersial dan meningkatkan daya saing panas bumi," kata Alfi.
Baca juga: Potensi Panas Bumi di Maluku dan Papua
Sementara itu, Direktur Eksekutif Reforminer Institute Komaidi Notonegoro menuturkan, panas bumi membutuhkan investasi awal yang besar.
Akan tetapi, panas bumi memiliki biaya pembangkitan yang kompetitif dibandingkan sumber energi lain.
Komaidi menyampaikan, selain masuk secara ekonomi, panas bumi dapat menjadi andalan untuk menjamin ketahanan energi.
Sumber enrgi panas bumi juga tidak terpengaruh fluktuasi harga bahan bakar internasional seperti batu bara, minyak, dan gas bumi.
"Ketika harga batu bara, minyak, dan gas bumi naik, panas bumi tidak terpengaruh," kata Komaidi.
Baca juga: Potensi Panas Bumi di Bali dan Nusa Tenggara
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya