MASALAH ketahanan dan swasembada pangan khususnya padi/beras di sektor pertanian menjadi “jualan kampanye” bagi pasangan calon presiden dan calon wakil presiden (capres-cawapres) dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) 14 Februari 2024 nanti.
Muhaimin Iskandar sebagai cawapres nomor urut satu dalam suatu kesempatan memberi pernyataan bahwa kelangkaan pupuk bersubsidi yang dihadapi para petani saat ini disebabkan tidak maksimalnya pabrik-pabrik pupuk berproduksi.
Kalau memang dibutuhkan, Indonesia perlu membangun lagi pabrik-pabrik pupuk baru.
Apakah persoalan dan masalah kelangkaan pupuk nasional sesederhana itu, sehingga solusinya cukup mendirikan pabrik-pabrik pupuk baru?
Sebagai seorang pemerhati pertanian, lingkungan dan kehutanan, saya mencoba untuk mengulik persoalan dan masalah kelangkaan pupuk sejak orde baru hingga saat ini.
Berdasarkan data tahun 2022, total kapasitas produksi pupuk oleh PT Pupuk Indonesia (Persero) beserta 10 anak perusahaannya tercatat sebanyak 13.752.500 ton per tahunnya.
Ditinjau dari jenis pupuk, urea menjadi jenis pupuk yang memiliki kapasitas produksi tertinggi dibandingkan pupuk jenis lain.
PT Pupuk Indonesia (Persero) melaporkan jumlahnya mencapai 9.362.500 per tahun. Anak perusahaan PT Pupuk Indonesia (Persero) yang memproduksi pupuk urea di Indonesia, antara lain PT Petrokimia Gresik, PT Pupuk Kujang, PT Pupuk Kalimantan Timur, PT Pupuk Iskandar Muda, dan PT Pupuk Sriwidjaja Palembang.
Setelahnya, ada pupuk Nitrogen, Phospat, dan Kalium (NPK) yang kapasitas produksinya sebesar 3.120.000 ton per tahun.
Kemudian pupuk Zwavelzure Ammoniak (ZA) memiliki kapasitas produksi 750.000 ton per tahun. Kapasitas produksi pupuk SP-36 (pupuk dengan kandungan fosfor cukup tinggi dalam bentuk P2O5 sebesar 36 persen) sebesar 500.000 ton per tahun.
Sementara, kapasitas produksi pupuk ZK (Zwavel Kalium) sebanyak 20.000 ton per tahun.
Menurut Direktorat Jenderal Bea Cukai yang diolah Badan Pusat Statistik (BPS), Indonesia mengimpor pupuk sebanyak 6,39 juta ton pada 2022.
Negara asal impor pupuk terbesar adalah Kanada, Tiongkok dan Rusia. Indonesia juga banyak membeli pupuk dari Mesir, Yordania, Laos, Australia, Belarusia, Vietnam, dan sejumlah negara lainnya.
Indonesia banyak mengimpor pupuk, karena pupuk produksi lokal belum mampu mencukupi kebutuhan dalam negeri.
"Kebutuhan pupuk di Indonesia harusnya 13 juta ton. Di Indonesia baru bisa berproduksi 3,5 juta ton," kata Presiden Jokowi, disiarkan situs resmi Presiden RI, Jumat (10/3/2023).
Jokowi juga menyebut, harga pupuk di dalam negeri tinggi karena pasokan yang terbatas. Dengan produksi lokal 3,5 juta ton dan ditambah impor 6,39 juta ton, Indonesia masih kekurangan pasokan pupuk sekitar 3 juta ton.
Adapun menurut data Bank Dunia, harga pupuk urea global sudah turun signifikan dalam setahun belakangan.
Pada April 2022, rata-rata harga pupuk urea yang menjadi acuan di pasar global sempat mencapai 925 dollar AS per ton, rekor tertinggi sepanjang sejarah. Namun, pada April 2023 rata-rata harganya menjadi 313,38 dollar AS per ton.
Petani Indonesia telah memperoleh subsidi pupuk sejak 2005 hingga sekarang. Sejak 2019, tren belanja subsidi pupuk Indonesia menurun dari Rp 34,1 triliun menjadi Rp 31,1 triliun pada 2020, dan terus menurun hingga Rp 25,3 triliun pada 2023.
Padahal, kebijakan subsidi pupuk merupakan bentuk kehadiran pemerintah dalam membantu petani.
Dalam keterangan persnya di Istana Negara setelah rapat internal dengan Presiden Jokowi, Menteri Pertanian saat itu, Syahrul Yasin Limpo menjelaskan, pupuk merupakan salah satu unsur yang menjamin produktivitas tanaman padi.
Dalam RDKK (Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok), pupuk yang dibutuhkan petani secara nasional di atas 20 juta ton.
Sebelumnya terdapat 69 jenis komoditas dengan 6 jenis pupuk yang diberikan subsidi. Namun sejak 2023, Peraturan Menteri Pertanian diubah dan disesuaikan, dari 69 jenis komoditas diubah menjadi 6 jenis komoditas yang dibantu dengan pupuk bersubsidi.
Enam jenis komoditas tersebut terkait dengan pangan strategis, pangan yang berkontribusi pada inflasi dan pangan yang memperkuat ekspor.
Kemampuan pemerintah, berdasarkan anggaran yang disediakan APBN, setiap tahun hanya bisa membeli pupuk bersubsidi sebesar 8-9 juta ton saja.
Tahun ini, presiden memberi arahan agar jumlah pupuk yang disediakan sebesar itu harus tetap dipertahankan bagaimanapun caranya.
Karena itu, yang harus dibenahi adalah program dan konsepsinya agar penyaluran pupuk bersubsidi lebih efisien dan tepat sasaran.
Selain itu, memperkuat koordinasi dengan para pihak terkait dengan penyediaan dan distribusi pupuk, seperti PT Pupuk Indonesia sebagai produsen pupuk dalam negeri, para gubernur, para bupati dan Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL) sebagai pendamping petani.
Data petani yang mendaftar untuk mendapatkan pupuk subsidi pada 2021 sebanyak 16,7 juta orang dari 22,3 juta petani di Indonesia (Susenas, 2013).
Jumlah pupuk subsidi yang diajukan para petani melalui e-RDKK (elektronik Rencana Definitif kebutuhan kelompok) sebanyak 23,3 juta ton pupuk. Jumlah yang diajukan itu untuk 70 komoditas pertanian.
Namun, anggaran subsidi yang disediakan pemerintah terbatas, yaitu hanya untuk 9,04 juta ton. Perbedaan yang sangat besar antara usulan kebutuhan dan alokasi yang disediakan pemerintah menyebabkan kelangkaan pupuk akan selalu terjadi, sampai kapan pun dan dengan metode apapun yang dikembangkan untuk distribusinya.
Meski pemerintah telah membangun pabrik baru PT Iskandar Muda, Aceh, tetapi tambahan produksinya relatif terbatas, yakni sebesar 570.000 ton per tahun.
Pemerintah memang telah mempunyai pabrik-pabrik pupuk yang cukup representatif. Di Sumatera diwakili PT Iskandar Muda di Aceh dan PT Sriwijaya di Sumatera Selatan.
Di Jawa diwakili PT Kujang di Cikampek di Jawa Barat dan PT Petrokimia Gresik di Jawa Timur. Di Kalimantan diwakili PT PKT di Kalimantan Timur.
Produksi pupuk PT Petrokimia Gresik sebesar lima juta ton per tahun, PT Kujang sebesar 1,360 juta ton per tahun, PT Iskandar Muda 3,7 juta ton per tahun, PT Sriwijaya 2,337 juta ton per tahun, PT PKT Kaltim 3,73 juta ton per tahun.
Produksi masing-masing pabrik pupuk tersebut meliputi jenis urea untuk pertumbuhan tanaman padi dan NPK yang sangat dibutuhkan dalam peningkatan produksi bulir padi.
Untuk wilayah Sulawesi, di mana terdapat sentra produksi padi seperti Sulawesi Selatan, seharusnya minimal ada satu pabrik pupuk. Demikian juga di wilayah Bali, NTB, dan NTT di mana sentra produksi padi terdapat di Bali dan NTB, mestinya ada minimal satu pabrik pupuk di daerah tersebut.
Beberapa tahun silam, PT Pupuk Iskandar Muda (PIM) berhenti berproduksi beberapa bulan lantaran tidak ada suplai gas alam dari Pertamina maupun perusahaan gas alam lainnya.
Hal itu membuktikan, ketersediaan dan kontinuitas gas alam menjadi penting dalam produksi pupuk di Indonesia.
Gas alam merupakan bahan baku dan sumber energi dalam produksi amonia dan urea, (bahan dasar pupuk N). Gas alam berkontribusi 70-80 persen dari biaya total produksi amonia/urea. Kondisi ini diperparah dengan melambungnya harga batu bara sebagai sumber energi.
Mengacu kepada data yang ada, kebutuhan riil pupuk petani bersubsidi sebesar 23,3 juta ton, sementara pemerintah hanya mampu menyediakan anggaran melalui APBN untuk pupuk bersubsidi sebesar 9,04 juta ton (hanya mampu menyediakan pupuk bersubsidi sebesar 38,79 persen dari total kebutuhan petani yang ada).
Dengan demikian, terdapat kekurangan sebesar 14,26 juta ton atau kurang sekitar 61,21 persen dari total kebutuhan petani yang ada.
Bila dirupiahkan, kekurangan anggaran untuk pupuk bersubsidi mendekati Rp 40 trilliun, atau tepatnya Rp 39,92 triliun.
Meskipun kapasitas produksi pabrik-pabrik pupuk di Indonesia mampu berproduksi sebesar 13,75 juta ton per tahun, namun pada kenyataannya baru mampu berproduksi sebesar 3,5 juta ton per tahun.
Kondisi ini dikarenakan bahan baku pembuatan pupuk kebanyakan didatangkan (diimpor) dari luar negeri seperti ammonia dan posphat yang tentu harganya jauh lebih mahal bila bahan baku tersebut dapat disediakan di dalam negeri.
Belum lagi bicara ketersediaan gas alam yang juga merupakan bahan baku utama pembuatan pupuk, di samping ammonia dan posphat.
Hanya gara-gara pasokan gas alam dari pabrik gas PGN ke pabrik pupuk terhambat, PT Pupuk Iskandar Muda (PT PIM) di Lhoksumawe Nangroe Aceh Darussalam (NAD) sempat tidak berproduksi sampai dua bulan beberapa tahun lalu.
Sementara, kekurangan kebutuhan pupuk nasional sisanya didatangkan (diimpor) dari negara lain. Itupun hanya mampu mengimpor pupuk sebesar 6,39 juta ton.
Itulah dilema kebutuhan pupuk nasional untuk petani yang sekarang menjadi polemik hangat bagi para paslon capres-cawapres dalam Pilpres 2024.
Ide Cak Imin (Muhaimin Iskandar) untuk membangun pabrik-pabrik baru guna mencukupi kebutuhan dan kelangkaan pupuk dalam negeri rasanya kurang realistis, karena bahan baku pembuatan pupuk tidak tersedia di dalam negeri.
Di samping itu, produksi pupuk dari pabrik-pabrik pupuk yang ada di Indonesia, belum mencapai pada kapasitas terpasang.
Dari kapasitas produksi terpasang sebesar 13,75 juta ton setiap tahun, fakta produksi yang dihasilkan baru 3,5 juta ton per tahun (baru berproduksi sekitar 25,45 persen saja).
Faktor penghambat produksi pupuk nasional yang kurang optimal di Indonesia, bukan karena kurangnya jumlah pabrik pupuk di Indonesia, tetapi karena terbatasnya kemampuan anggaran yang dimiliki oleh pabrik-pabrik pupuk yang ada untuk mengimpor bahan baku.
Indonesia jangan bermimpi untuk swasembada pupuk sebagaimana swasembada pangan khususnya padi/beras, sepanjang kita tidak mampu menyediakan bahan baku pembuatan pupuk seperti sekarang ini. Tidak mudah dan dilematis memang.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya