Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Pramono Dwi Susetyo
Pensiunan

Pemerhati masalah kehutanan; penulis buku

Kegiatan Ekonomi Ilegal dalam Kawasan Hutan

Kompas.com - 26/01/2024, 16:30 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Dalam UU No 4/2009 yang diperbaharui No 3/2020 tentang minerba dalam pasal 128 disebutkan bahwa pemegang izin usaha pertambangan (IUP) dan izin usaha pertambangan khusus (IUPK) wajib membayar pendapatan negara dan pendapatan daerah.

Pendapatan negara adalah penerimaan pajak dan penerimaan bukan pajak (PNBP). Penerimaan pajak yang dimaksud adalah pajak-pajak yang menjadi kewenangan pemerintah dan bea masuk dan cukai, sementara PNBP berupa iuran tetap, iuran eksplorasi, iuran produksi, dan kompensasi data informasi.

Sedangkan pendapatan daerah berupa pajak daerah, restribusi daerah dan pendapatan lain yang sah berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Sementara itu, pelepasan kawasan hutan hanya dapat dilakukan pada kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi (HPK) yang tidak produktif.

Ketentuan tersebut dikecualikan pada provinsi yang tidak tersedia lagi kawasan HPK yang tidak produktif.

Pelepasan kawasan hutan pada kawasan hutan HPK dilakukan oleh hasil penelitian Tim Terpadu dengan memperhatikan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup dengan dilengkapi kajian lingkungan hidup strategis yang disusun oleh pemrakarsa kegiatan.

Pemegang persetujuan pelepasan kawasan hutan dikenakan PNBP pelepasan kawasan hutan. Berdasarkan bukti pembayaran PNBP pelepasan kawasan hutan dan berita acara tata batas dan peta hasil tata batas Menteri menerbitkan keputusan tentang penetapan batas areal pelepasan kawasan hutan yang dimohon.

Menteri KLHK berkoordinasi dengan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertanahan dan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertanian melakukan evaluasi dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun terhadap kawasan hutan yang telah dilepaskan.

Berdasarkan keputusan Menteri KLHK tentang penetapan batas areal pelepasan kawasan hutan, status lahan diproses sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan.

Apabila HGU dari pelepasan kawasan hutan telah menjadi kebun kelapa sawit, maka pendapatan negara yang bisa dipungut adalah PNBP proses penerbitan HGU yang membutuhkan pelayanan pengukuran dan pemetaan batas bidang tanah (Tu) dan pelayanan pemeriksaan tanah (Tpb) oleh Panitia dan pajak bumi dan bangunan (PBB).

Kerugian negara

Dapat dibayangkan berapa kerugian negara yang diakibatkan oleh adanya 2500 unit tambang ilegal dan perkebunan sawit ilegal seluas 3,1-3,2 juta ha dari kawasan hutan.

Menurut hitung-hitungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dari luas kebun sawit ilegal tersebut negara dirugikan sebesar lebih kurang lebih Rp 50 trilliun, yang dihitung berdasarkan pungutan provisi sumber daya hutan (PSDH), dana reboisasi (DR) dan PNBP persetujuan penggunaan kawasan hutan.

Belum termasuk pungutan PNBP pengukuran dan pemetaan HGU serta PBB HGU yang menjadi domain Kementerian ATR/BPN dan Kementan.

Sebagai ilustrasi saja, kasus mantan bupati Indragiri Hulu (Inhu) provinsi Riau periode 1999-2008, Raja Thamsir Rahman (RTR) menjadi contoh nyata.

Hanya berbekal izin prinsip yang diterbitkannya, Bupati RTR berani menerbitkan izin lokasi dan izin usaha perkebunan di kawasan hutan di Indragiri Hulu seluas 37.095 hektar.

Padahal izin usaha pekebunan di kawasan hutan harus dilengkapi dengan izin pelepasan kawasan hutan yang diterbitkan Menteri Kehutanan dan Izin hak guna usaha (HGU) yang diterbitkan Menteri Agraria/Tata Ruang.

Tanpa pelepasan kawasan dan HGU, mustahil izin usaha perkebunan di kawasan hutan dapat dilakukan.

Faktanya, PT Duta Palma Group milik Surya Darmadi dapat mengusahakan kebun sawit secara tidak sah sampai kasus ini terungkap pada Juli 2022 oleh Kejaksaan Agung.

Kerugian negara akibat aktivitas kebun sawit ilegal tersebut mencapai Rp 78 trilliun. Belum lagi kalau dihitung adanya 2500 unit tambang ilegal di dalam kawasan hutan, nilai kerugian negara akan lebih fantastis lagi besarannya.

Benang kusut semacam ini harus segera diurai satu persatu agar pengelolaan sumberdaya alam (SDA) lebih baik lagi dan dapat bermanfaat bagi seluruh rakyat Indonesia sebagaimana amanat UUD 45 Pasal 33 Bumi air, dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasi negara dan dimanfaatkan sebesar-bsarnya untuk kemakmuran rakyat. Semoga.

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Halaman:

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau