Mahkamah mengabulkan tuntutan itu dan memerintahkan KLHK tidak sembarangan dalam menetapkan kawasan hutan.
Padahal, perizinannya begitu kacau balau. Ada perusahaan yang memiliki izin perkebunan dari pemerintah daerah juga mengantongi izin hak guna usaha (HGU) dari Badan Pertanahan Nasional (BPN). Padahal tak ada pelepasan kawasan hutan untuk arealnya.
Di kebun sawit rakyat, masalahnya lebih rumit dan kompleks lagi. Selain perambahan, jumlahnya banyak dan luasnya kecil-kecil, 5-25 hektare. Karena ilegal, baik sawit rakyat dan sawit perusahaan tentu tak membayar pajak.
Pemerintah coba menyelesaikan sengketa kebun sawit di kawasan hutan melalui regulasi Peraturan Pemerintah Nomor 60/2012 yang diperbarui PP No. 104/2015 tentang tata cara perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan.
Rumitnya prosedur mendapat izin membuat penyelesaian itu ditanggapi dingin pengusaha. Salah satu kerumitan adalah kewajiban menyediakan lahan pengganti dalam tukar-menukar kawasan hutan, jika izin perkebunannya berada di kawasan hutan produksi.
Mencari lahan pengganti tidak mudah. Apalagi mendapatkan lahan yang luasnya setara dan clean and clear secara hukum. Kalaupun ada, prosedur penataan batas yang dilewati juga tidak mudah.
Secara normatif, penggunaan kawasan hutan untuk kegiatan pembangunan nonkehutanan secara luas dan masif seperti pertambangan dan perkebunan kelapa sawit dimungkinkan dan diizinkan dalam UU Kehutanan No. 41 tahun 1999 yang diperbaharui dalam UU Cipta Kerja no. 11/2020 bidang Kehutanan.
Secara regulasi, dalam UU No. 41/1999 tentang kehutanan pasal 38 ayat (1) menyebut bahwa penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan hanya dapat dilakukan di dalam kawasan hutan produksi dan kawasan hutan lindung.
Kegiatan pembangunan di luar kehutanan adalah kegiatan untuk tujuan strategis yang tidak dapat dielakkan, antara lain kegiatan pertambangan, pembangunan jaringan listrik, telepon, dan instalasi air, kepentingan religi, kegiatan pembuatan jalan serta kepentingan pertahanan keamanan.
Mekanisme yang ditempuh dalam membangun jalan dalam kawasan hutan lindung adalah melalui izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH) yang diterbitkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Sedangkan untuk kegiatan pembangunan nonkehutanan dengan luasan yang cukup besar seperti perkebunan sawit dan perkebunan tebu ditempuh dengan jalur alih fungsi lahan hutan menjadi hak guna usaha (HGU) dengan mekanisme pelepasan kawasan hutan.
Payung hukum secara legal yang digunakan kawasan hutan untuk pertambangan dan pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan sawit adalah UU No 11/2020 tentang Cipta Kerja bidang kehutanan dan peraturan pemerintah (PP) No 23/2021 tentang penyelenggaraan kehutanan yang menjadi domain dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Sementara apabila kegiatan pertambangan legal telah mengantongi persetujuan/izin penggunaan kawasan hutan dari KLHK dan menyelesaikan segala kewajibannya, maka izin eksploitasinya diatur oleh UU No. 4/2009 yang direvisi menjadi UU No. 3/2020 tentang mineral dan batu bara (Minerba) dan menjadi domaian Kementerian ESDM.
Untuk kegiatan perkebunan besar seperti sawit dan tebu, apabila KLHK telah menerbitkan sertifikat pelepasan kawasan hutan menjadi hak guna usaha (HGU), setelah korporasi memenuhi kewajibannya, maka pengaturan selanjutnya akan menjadi domain Kementerian ATR/BPN sebagaimana diatur dalam UU No 5/1960 tentang pokok-pokok agraria.
Apabila telah ditanami dengan komoditas perkebunan nantinya hasilnya juga akan diatur dengan UU No. 39/2014 tentang perkebunan yang juga menjadi domain Kementerian Pertanian (Kementan).
Sepanjang lahan kawasan hutan masih menjadi domain KLHK, maka kegiatan ekonomi legal khususnya pertambangan dan perkebunan besar untuk selanjutnya hak dan kewajibannya diatur dalam PP No 23/2021 tentang penyelenggaraan kehutanan, khususnya dalam paragraf 2 tentang perubahan peruntukan kawasan hutan dalam pasal 58- 70 yang membahas tentang pelepasan kawasan hutan dan bagian kedua tentang tata cara penggunaan kawasan hutan dalam pasal 92 tentang kegiatan pertambangan.
Pertambangan dalam kawasan hutan dapat dilakukan di dalam kawasan hutan produksi maupun hutan lindung.
Pertambangan dalam hutan produksi dapat dilakukan dengan cara: a) penambangan dengan pola pertambangan terbuka; dan/atau; b) penambangan dengan pola pertambangan bawah tanah.
Sementara itu, pertambangan dalam kawasan hutan lindung hanya dapat dilakukan penambangan dengan pola pertambangan bawah tanah dengan ketentuan dilarang mengakibatkan: a) turunnya permukaan tanah; b) berubahnya fungsi pokok kawasan hutan secara permanen; dan/atau c) terjadinya kerusakan akuifer air tanah.
Penambangan bawah tanah pada hutan lindung dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pemegang persetujuan penggunaan kawasan hutan termasuk pertambangan mempunyai kewajiban: a) membayar PNBP penggunaan kawasan hutan dan PNBP kompensasi bagi pemegang persetujuan penggunaan kawasan hutan pada provinsi yang kurang luas kecukupan kawasan hutannya; b) mengganti biaya investasi kepada pengelola/pemegang pengelolaan perizinan berusaha pemanfaatan hutan; c) melaksanakan reklamasi dan/atau reboisasi pada kawasan hutan yang diberikan persetujuan penggunaan kawasan hutan yang sudah tidak digunakan; d) melaksanakan kewajiban lain yang ditetapkan oleh Menteri.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya