Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Moh Samsul Arifin
Broadcaster Journalist

Sejak 2006 berkecimpung di dunia broadcast journalism, dari Liputan6 SCTV, ANTV dan Beritasatu TV. Terakhir menjadi produser eksekutif untuk program Indepth, NewsBuzz, Green Talk dan Fakta Data

Jejak Karbon dan Pola Makan

Kompas.com - 30/01/2024, 09:10 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Ketiga, mengurangi makan daging sapi dan kambing. Bukan tanpa alasan. Sebab satu kilogram daging sapi menghasilkan 60 kg CO2 ekuivalen. Sedangkan sekilo daging kambing/domba setara 24 kg CO2 ekuivalen.

Penduduk Amerika Serikat, Kuwait dan Australia adalah tiga negara penyantap daging per kapita tertinggi di dunia dunia.

Telegraph (2019) pernah merilis jika warga Abang Sam mengonsumsi daging hingga 120 kilogram per kapita per tahun. Sedangkan Kuwait (119,2 kg/kapita/tahun) dan Australia (111,5 kg/kapita/tahun).

Jangan heran kalau Anda menyaksikan tayangan “Man Food Fire”, daging sapi untuk menu “steak” di restoran-restoran di Amerika terlihat gede-gede alias berat dan besar.

Bandingkan dengan konsumsi daging sapi masyarakat kita yang cuma 2,2 kg/kapita/tahun (di bawah rata-rata dunia sebesar 6,4 kg/kapita/tahun). Dan konsumsi daging domba/kambing masyarakat kita hanya 0,4 kg/kapita/tahun.

Ini menjelaskan kebiasaan, tradisi dan budaya masyarakat Indonesia berbeda dengan masyarakat Amerika.

Namun di balik “ketimpangan” itu ada hikmah yang tersembunyi: Seharusnya masyarakat di Nusantara ini lebih gampang untuk “diet” daging sapi atau daging kambing ketimbang masyarakat di Amerika atau Australia.

Berpisah sama sekali mungkin sulit. Namun, mengurangi konsumsi daging sapi dan kambing secara perlahan bukan mustahil.

Semua orang tak harus menjadi “vegetarian”, tapi setidaknya dapat bergabung dalam barisan orang yang mau “diet” daging sapi dan kambing secara berkala dengan mengontrol volume atau intensitas konsumsi.

Atau sekurang-kurangnya ambil bagian dalam gerakan “Satu Hari Tanpa Daging Sedunia” saban 15 Juni dengan ikut “diet daging” pada tanggal tersebut. Secara etis, ikhtiar ini setara dengan “Earth Hour” yang mengampanyekan hemat listrik.

Secara umum kampanye tadi menyebarkan gagasan kepada warga Inggris untuk tidak makan “semau gue”, tidak makan semua hal, kalau terpaksa makan ya sedikit saja, serta tidak membuang makanan.

Soal beginian bukan urusan masyarakat Barat atau Timur. Tengoklah satu “kearifan tradisional” dari masyarakat Lamalera di pulau Lembata, Nusa Tenggara Timur.

Mereka berburu paus di lautan lepas yang sudah berlangsung ratusan tahun. Tapi, masyarakat di sana cuma “mengambil sedikit” dari alam, dan bukan mengeksploitasinya karena rakus bin tamak.

Itu pun dilakukan karena ekonomi subsisten—menjamin kebutuhan pangan masyarakat setempat.

Kampanye soal makanan dan pola makan seperti berlangsung di Inggris itu bisa dikatakan merupakan “penertiban terhadap tubuh” demi tujuan yang sebetulnya transenden, yakni ikut menyelamatkan bumi dan makhluk hidup yang ada di dalamnya.

Sebuah ikhtiar untuk membelokkan takdir bumi agar terhindar dari krisis iklim yang kian tidak terkendali. Layak diadaptasi dan dicontoh untuk misi yang sama.

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Halaman:

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com