Emisi dalam proses produksi makanan paling besar disumbang oleh sektor peternakan dan perikanan (31 persen). Sisanya produksi tanaman (27 persen), penggunaan tanah sebagai lahan pertanian (24 persen), dan rantai pasokan makanan (18 persen).
Jejak karbon tak lain adalah total karbon dioksida dan gas rumah kaca lainnya, termasuk metana (CH4), yang dimuncratkan oleh aktivitas komunitas, populasi, sistem kerja dan individu.
Jejak karbon melingkupi nyaris seluruh sektor kehidupan manusia. Ini tak dapat dielakkan. Pendulumnya adalah revolusi Industri meletus di Inggris, abad 18 silam.
Itulah revolusi yang memberi tiket kepada bangsa manusia untuk mengeruk, mengeksplorasi dan mengeksploitasi energi fosil dari minyak, gas hingga batu bara yang mengotori atmosfer.
Belakangan kesadaran hijau mekar. Inilah kesadaran yang diketuk oleh kepedulian terhadap bumi yang makin merana karena pemanasan global.
Prediksi suram dipaparkan David Wallace-Wells (2019) dalam “Bumi yang Tak Dapat Dihuni” (The Uninhabitable Earth).
Menurut dia, krisis iklim yang tidak terkendali bakal berpuncak pada “kiamat iklim” pada 2100 mendatang. Itulah ramalan saintis yang menyebut sebagian pojok bumi tak dapat dihuni lagi saking panasnya ketika suhu meloncat 3 hingga 6 derajat celcius dari sekarang.
Artinya negara-negara di dunia gagal menahan kenaikan suhu bumi di bawah 2 derajat celcius seperti diamanatkan Perjanjian Paris 2015.
Mengurangi emisi gas karbon wajib dilakukan di seluruh sektor; dari energi, kelistrikan, transportasi hingga kehutanan. Tidak terkecuali menyangkut makanan dan pola makan.
Mari belajar dari Inggris tentang bagaimana meredam emisi GRK sejak dari piring makanan kita. Tayangan BBC Earth berjudul “When The World Gets 1°C Hotter” menggambarkan kampanye untuk “menginterupsi” pola makan warga di negeri Pangeran Charles itu.
Maklum sampah makanan dari sayuran, buah dan sereal dari rumah tangga di Inggris pernah mencapai 6 juta ton pada 2015. Itu setara 80 kilogram-110 kilogram/kapita. Tertinggi di daratan Eropa.
Ada tiga jurus yang dikampanyekan. Pertama, makanlah semua yang kita beli. Warga Inggris diminta mencari cara untuk mengurangi sampah dari makanan yang mereka beli. Bahkan jika mungkin seluruh makanan itu tidak bersisa, alias zero waste.
Soal ini saya teringat dengan “kearifan tradisional” yang dianut orang tua-orang tua di kampung di pulau Jawa. Di zaman dahulu, di antara kita mungkin masih ingat tatkala nenek atau kakek kita menanamkan nilai berikut: “Nak, jangan sisakan satu butir nasi pun dari piringmu. Itu rezeki yang layak disyukuri.”
Jika nilai tradisional semacam ini menjadi laku sehari-hari, hal itu bakal menjadi benteng individu untuk tidak membuang atau memubazirkan makanan yang kita beli. Makanan yang sesungguhnya dibeli dengan keringat (baca: modal/rupiah).
Yang dikampanyekan di Inggris tadi sebetulnya telah hidup dalam khazanah masyarakat tradisional Indonesia. Jadi cuma perlu dibangkitkan dan ditanamkan kembali pada generasi muda demi misi yang lebih adiluhung, yakni membantu mengurangi emisi gas rumah kaca.
Kedua, warga Inggris diimbau mengurangi atau mengatakan “tidak” terhadap produk makanan atau minuman (impor) yang diangkut dengan transportasi udara (pesawat terbang).
Asal tahu saja industri penerbangan menyumbang 2-3 persen emisi karbondioksida global. Jika jurus ini terlampau ekstrem, mungkin kita, warga Indonesia dapat menoleh pada produk lokal: dari sayur mayur, beras, daging sapi, kambing hingga ikan laut.
Selain mengurangi emisi gas rumah kaca, menoleh pada produk pangan lokal sama dengan memberdayakan petani, peternak dan nelayan negeri sendiri. Itu menyantuni ekonomi nasional.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya