"Revolusi pertanian adalah tipuan terbesar dalam sejarah”.
SAYA tersentak dan terguncang ketika membaca kalimat Yuval Noah Harari dalam magnum opus-nya, “Sapiens” di atas.
Menurut Harari, revolusi pertanian memperbesar total makanan yang bisa dimanfaatkan manusia. Namun, makanan berlebih bukan berarti gizi yang lebih baik atau waktu santai yang lebih banyak.
Makanan berlebih justru berdampak atau menghasilkan ledakan populasi di bumi.
Lebih jauh Harari mengatakan, bercocok tanam bahan pangan telah menyediakan jauh lebih banyak makanan per satuan wilayah sehingga memungkinkan Homo Sapiens memperbanyak diri secara eksponensial.
Domestikasi atau penjinakan atas berbagai macam tumbuhan dan binatang liar, sistem bercocok tanam (pertanian), dan hidup menetap (bermukim) tak ayal menjadi segitiga penopang yang membuat total populasi penduduk dunia meloncat jadi 7,94 miliar jiwa per Juli 2022 lalu.
Apakah revolusi pertanian adalah tipuan terbesar dalam sejarah?
Mungkin iya jika manusia berpikir regresif, ingin kembali ke masa jutaan tahun silam, tatkala nenek moyang kita mencari makanan dengan mengumpulkan tumbuhan serta berburu hewan di alam liar.
Di kala itu, manusia hidup nomaden atau berpindah-pindah, punya sumber pangan beragam karena setiap hari terus hidup nomaden dan tak punya tanaman yang dibudidayakan (tak ada pula monokultur), populasi penduduk terkendali, dan mungkin keadaan iklim tidak mencemaskan seperti sekarang.
Namun, faktanya sistem bertani ditemukan dan mengubah secara telak peradaban manusia.
Bukan dongeng jika revolusi pertanian menyelamatkan bangsa manusia dari bencana kelaparan meskipun tidak absolut. Sebab kemiskinan dan kelaparan masih bertahan di sebagian pojok bumi.
Tengoklah tayangan semacam Hotel Hell, Restaurant Redemption, Restaurant Make Over, Master Chef, Top Chef, Man Food Fire, French Food at Home, Exploring China: A Culinary Adventure, May’s Kitchen atau Back to the Streets: Jakarta.
Seabrek program kuliner televisi itu membuktikan dengan cukup sahih bahwa manusia tidak perlu cemas dengan sumber pangan. Bahkan berlimpah dan pusparagam.
Namun, di balik “panggung depan” tadi, ada kabar muram di “layar belakang”. Pada 2019, contohnya warga dunia memproduksi 931 juta ton sampah makanan. Itu berarti 17 persen makanan yang diproduksi dunia tahun itu berakhir sia-sia.
Kondisi di Indonesia sama saja. Antara 2009-2019, produksi sampah makanan—alias makanan yang hilang dan terbuang (food loss & food waste)—di negeri kita menembus 23-48 juta ton. Ini setara 115-184 kilogram per kapita. Kalau dinominalkan setara Rp 213 triliun sampai Rp 515 triliun. (Lebih dari cukup untuk membiayai Ibu Kota Negara/IKN baru).
Kehilangan makanan terbesar terjadi karena masyarakat kita tidak bijak dalam mengonsumsi makanan. Alhasil total makanan yang terbuang (food waste) dalam tahap konsumsi mencapai 5 juta ton-19 juta ton per tahun.
Kata Kepala Bappenas, Suharso Monoarfa, sampah makanan tadi memuncratkan emisi gas rumah kaca sebesar 1.702,9 mega ton CO2-ekuivalen.
Secara global sepertiga dari emisi gas rumah kaca (GRK) yang dibuat manusia terkait dengan makanan. Jejak karbonnya terlacak sejak dari ladang, produksi makanan, meja makan hingga tempat pembuangan sampah.
Emisi dalam proses produksi makanan paling besar disumbang oleh sektor peternakan dan perikanan (31 persen). Sisanya produksi tanaman (27 persen), penggunaan tanah sebagai lahan pertanian (24 persen), dan rantai pasokan makanan (18 persen).
Jejak karbon tak lain adalah total karbon dioksida dan gas rumah kaca lainnya, termasuk metana (CH4), yang dimuncratkan oleh aktivitas komunitas, populasi, sistem kerja dan individu.
Jejak karbon melingkupi nyaris seluruh sektor kehidupan manusia. Ini tak dapat dielakkan. Pendulumnya adalah revolusi Industri meletus di Inggris, abad 18 silam.
Itulah revolusi yang memberi tiket kepada bangsa manusia untuk mengeruk, mengeksplorasi dan mengeksploitasi energi fosil dari minyak, gas hingga batu bara yang mengotori atmosfer.
Belakangan kesadaran hijau mekar. Inilah kesadaran yang diketuk oleh kepedulian terhadap bumi yang makin merana karena pemanasan global.
Prediksi suram dipaparkan David Wallace-Wells (2019) dalam “Bumi yang Tak Dapat Dihuni” (The Uninhabitable Earth).
Menurut dia, krisis iklim yang tidak terkendali bakal berpuncak pada “kiamat iklim” pada 2100 mendatang. Itulah ramalan saintis yang menyebut sebagian pojok bumi tak dapat dihuni lagi saking panasnya ketika suhu meloncat 3 hingga 6 derajat celcius dari sekarang.
Artinya negara-negara di dunia gagal menahan kenaikan suhu bumi di bawah 2 derajat celcius seperti diamanatkan Perjanjian Paris 2015.
Mengurangi emisi gas karbon wajib dilakukan di seluruh sektor; dari energi, kelistrikan, transportasi hingga kehutanan. Tidak terkecuali menyangkut makanan dan pola makan.
Mari belajar dari Inggris tentang bagaimana meredam emisi GRK sejak dari piring makanan kita. Tayangan BBC Earth berjudul “When The World Gets 1°C Hotter” menggambarkan kampanye untuk “menginterupsi” pola makan warga di negeri Pangeran Charles itu.
Maklum sampah makanan dari sayuran, buah dan sereal dari rumah tangga di Inggris pernah mencapai 6 juta ton pada 2015. Itu setara 80 kilogram-110 kilogram/kapita. Tertinggi di daratan Eropa.
Ada tiga jurus yang dikampanyekan. Pertama, makanlah semua yang kita beli. Warga Inggris diminta mencari cara untuk mengurangi sampah dari makanan yang mereka beli. Bahkan jika mungkin seluruh makanan itu tidak bersisa, alias zero waste.
Soal ini saya teringat dengan “kearifan tradisional” yang dianut orang tua-orang tua di kampung di pulau Jawa. Di zaman dahulu, di antara kita mungkin masih ingat tatkala nenek atau kakek kita menanamkan nilai berikut: “Nak, jangan sisakan satu butir nasi pun dari piringmu. Itu rezeki yang layak disyukuri.”
Jika nilai tradisional semacam ini menjadi laku sehari-hari, hal itu bakal menjadi benteng individu untuk tidak membuang atau memubazirkan makanan yang kita beli. Makanan yang sesungguhnya dibeli dengan keringat (baca: modal/rupiah).
Yang dikampanyekan di Inggris tadi sebetulnya telah hidup dalam khazanah masyarakat tradisional Indonesia. Jadi cuma perlu dibangkitkan dan ditanamkan kembali pada generasi muda demi misi yang lebih adiluhung, yakni membantu mengurangi emisi gas rumah kaca.
Kedua, warga Inggris diimbau mengurangi atau mengatakan “tidak” terhadap produk makanan atau minuman (impor) yang diangkut dengan transportasi udara (pesawat terbang).
Asal tahu saja industri penerbangan menyumbang 2-3 persen emisi karbondioksida global. Jika jurus ini terlampau ekstrem, mungkin kita, warga Indonesia dapat menoleh pada produk lokal: dari sayur mayur, beras, daging sapi, kambing hingga ikan laut.
Selain mengurangi emisi gas rumah kaca, menoleh pada produk pangan lokal sama dengan memberdayakan petani, peternak dan nelayan negeri sendiri. Itu menyantuni ekonomi nasional.
Ketiga, mengurangi makan daging sapi dan kambing. Bukan tanpa alasan. Sebab satu kilogram daging sapi menghasilkan 60 kg CO2 ekuivalen. Sedangkan sekilo daging kambing/domba setara 24 kg CO2 ekuivalen.
Penduduk Amerika Serikat, Kuwait dan Australia adalah tiga negara penyantap daging per kapita tertinggi di dunia dunia.
Telegraph (2019) pernah merilis jika warga Abang Sam mengonsumsi daging hingga 120 kilogram per kapita per tahun. Sedangkan Kuwait (119,2 kg/kapita/tahun) dan Australia (111,5 kg/kapita/tahun).
Jangan heran kalau Anda menyaksikan tayangan “Man Food Fire”, daging sapi untuk menu “steak” di restoran-restoran di Amerika terlihat gede-gede alias berat dan besar.
Bandingkan dengan konsumsi daging sapi masyarakat kita yang cuma 2,2 kg/kapita/tahun (di bawah rata-rata dunia sebesar 6,4 kg/kapita/tahun). Dan konsumsi daging domba/kambing masyarakat kita hanya 0,4 kg/kapita/tahun.
Ini menjelaskan kebiasaan, tradisi dan budaya masyarakat Indonesia berbeda dengan masyarakat Amerika.
Namun di balik “ketimpangan” itu ada hikmah yang tersembunyi: Seharusnya masyarakat di Nusantara ini lebih gampang untuk “diet” daging sapi atau daging kambing ketimbang masyarakat di Amerika atau Australia.
Berpisah sama sekali mungkin sulit. Namun, mengurangi konsumsi daging sapi dan kambing secara perlahan bukan mustahil.
Semua orang tak harus menjadi “vegetarian”, tapi setidaknya dapat bergabung dalam barisan orang yang mau “diet” daging sapi dan kambing secara berkala dengan mengontrol volume atau intensitas konsumsi.
Atau sekurang-kurangnya ambil bagian dalam gerakan “Satu Hari Tanpa Daging Sedunia” saban 15 Juni dengan ikut “diet daging” pada tanggal tersebut. Secara etis, ikhtiar ini setara dengan “Earth Hour” yang mengampanyekan hemat listrik.
Secara umum kampanye tadi menyebarkan gagasan kepada warga Inggris untuk tidak makan “semau gue”, tidak makan semua hal, kalau terpaksa makan ya sedikit saja, serta tidak membuang makanan.
Soal beginian bukan urusan masyarakat Barat atau Timur. Tengoklah satu “kearifan tradisional” dari masyarakat Lamalera di pulau Lembata, Nusa Tenggara Timur.
Mereka berburu paus di lautan lepas yang sudah berlangsung ratusan tahun. Tapi, masyarakat di sana cuma “mengambil sedikit” dari alam, dan bukan mengeksploitasinya karena rakus bin tamak.
Itu pun dilakukan karena ekonomi subsisten—menjamin kebutuhan pangan masyarakat setempat.
Kampanye soal makanan dan pola makan seperti berlangsung di Inggris itu bisa dikatakan merupakan “penertiban terhadap tubuh” demi tujuan yang sebetulnya transenden, yakni ikut menyelamatkan bumi dan makhluk hidup yang ada di dalamnya.
Sebuah ikhtiar untuk membelokkan takdir bumi agar terhindar dari krisis iklim yang kian tidak terkendali. Layak diadaptasi dan dicontoh untuk misi yang sama.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya