Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 02/02/2024, 18:00 WIB
Irawan Sapto Adhi,
Hilda B Alexander

Tim Redaksi

Apalagi, kata dia, PKS sekarang deklarasinya adalah sebagai partai Islam yang rahmatan lil'alamin, memeluk dan merangkul semua kalangan.

“Jadi kami itu ingin mengaplikasikan keyakinan yang kami miliki agar punya kemanfaatan bukan hanya terhadap sesama, bahkan semua hal di alam semesta,” beber Daryono saat ditemui di tempat kerjanya di Kelurahan Banyuanyar.

Ia juga menyesalkan PKS sering mendapat stigma sebagai partai yang tidak peduli terhadap kebudayaan oleh sejumlah pihak.

Daryono lalu menegaskan bahwa pandangan itu tidak tepat.

Ia mencontohkan dirinya sendiri yang punya hobi mengoleksi keris sebagai warisan budaya. Dia telah pula menginisiasi pembentukan paguyuban tosan aji yang sebagian besar anggotanya merupakan kader PKS.

“Jadi, sebagai partai Islam, kami ingin menunjukkan bisa hidup berdampingan, bisa menerima siapapun. Nyatanya di daerah lain, ada juga pengurus yang non-Muslim,” jelas politikus yang juga maju dalam Pileg itu.

Dengan ini, ia pun mempersilakan masyarakat penganut aliran kepercayaan untuk tidak sungkan apabila ingin menyampaikan aspirasi lewat PKS.

Terpisah, Wakil Sekretaris DPC PDI-P Solo Budi Prasetyo memastikan, partainya sangat terbuka bagi kelompok penghayat. Hal itu sesuai dengan semangat yang digelorakan Bung Karno.

Menurutnya, Negara Indonesia dibangun di atas prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa. Prinsip ini, kata Budi, diusulkan oleh Bung Karno dalam Pidato Lahirnya Pancasila pada tanggal 1 Juni 1945.

Pidato Bung Karno itu menegaskan Indonesia memegang prinsip ketuhanan yang berkebudayaan, yang memberikan keleluasaan bagi warga negara untuk menjalankan perintah agama dan keparcayaan masing-masing, serta sikap saling menghormati.

“Atas dasar itu, kami memastikan akan terus memperjuangkan terpenuhinya kesetaraan kesempatan dalam hak-hak sipil bagi setiap warga negara,” ucap politikus yang juga maju dalam Pileg 2024 tersebut.

Baca juga: Akui Penghayat Kepercayaan, Kemendikbudristek Berikan Layanan Advokasi kepada Masyarakat Adat

Budi pun menekankan bahwa keberadaan penghayat kepercayaan sekarang sudah diakui secara konstitusional oleh negara.

“Salah satu permasalahan penghayat (di Solo) kan soal KTP. Masih banyak yang belum mengubah identitas. Ini juga yang akan kami kawal terus untuk ditemukan duduk persoalannya dan solusinya,” ujar politikus yang masih menjabat sebagai Ketua DPRD Solo tersebut.

Sebab, kata dia, identitas penghayat ini penting untuk mengakses layanan dasar sesuai kebutuhan, seperti pendidikan, pernikahan, dan seterusnya.

Pada 7 November 2017, Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan keseluruhan permohonan para pemohon uji materi terhadap Pasal 61 Ayat (1), (2), dan Pasal 64 Ayat (1) dan (2) UU No 23/2006 tentang Administrasi Kependudukan, yang telah berubah menjadi UU No 24/2013 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan.

Keputusan MK secara eksplisit memandatkan jaminan kesetaraan antara agama dan kepercayaan sesuai Pasal 28E dan 29 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.

Dengan begitu, sebagai warga negara yang setara, penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan YME seharusnya memiliki hak yang sama dengan pemeluk agama dalam mengakses layanan publik.

Masalah nyata

Senada dengan Rahmanto, Tri Suseno (43) mengatakan, penghayat kepercayaan masih membutuhkan akvokasi dalam pemenuhan hak-haknya. Ia mencontohkan situasi yang dialaminya sendiri.

Seorang penghayat Kepercayaan Sapta Darma itu bercerita, putra sulungnya, Nendra (9), belum juga menerima layanan pendidikan sesuai kebutuhan.

Sedari awal Nendra masuk SD pada 2019, Seno padahal telah berbicara kepada pihak sekolah untuk bisa memenuhi hak pendidikan anaknya sebagai penghayat.

Namun, sekolah belum juga sanggup menyediakan tenaga penyuluh Pendidikan Kepercayaan Terhadap Tuhan YMA hingga sekarang. Alhasil, Nendra terpaksa masih ikut Pendidikan Agama.

“Meskipun sangat minoritas, kami mohon bisa mendapatkan perhatian dan terlayani juga,” ucapnya.

Wakil 2 MLKI Solo Gress Raja juga beranggapan bahwa hak-hak para penghayat Kepercayaan masih perlu untuk lebih diakui dan dihormati, termasuk dalam kebijakan pemerintah.

Nyatanya, menurutnya, masih banyak penghayat di Kota Solo yang belum berani membuka diri kepada publik luas karena beragam alasan, termasuk kekhawatiran menerima diskriminasi.

"Sebagaian besar penghayat masih ber-KTP agama, padahal tidak menjalankan ajaran agama. Kalau mau ganti identitas KTP, teman-teman ada ganjalan, termasuk faktor lingkungan. Ini tak mudah,” jelas Gress.

Baca juga: Saat Anak-anak Penghayat di Solo Tak Terfasilitasi Pendidikan Kepercayaan...

MLKI mencatat baru ada sekitar 40 penghayat yang telah mengubah kolom agama di KTP menjadi penganut Kepercayaan terhadap Tuhan YME. Padahal, potensi jumlah penghayat di Kota Bengawan bisa mencapai 800 orang.

Secara kelembagaan, jumlah organisasi penghayat di Kota Solo juga menurun. Pada 2016 tercatat masih ada 20 organisasi, sedangkan pada tahun ini tinggal 12 kelompok atau paguyuban.

Penghayat kepercayaan non-paguyuban asal Kelurahan Pasar Kliwon Sidik Hendro Purnomo menyebut, beberapa penghayat di wilayahnya enggan membuka jati diri karena sempat menerima intimidasi dari kelompok intoleran.

Ia bercerita, pernah suatu ketika, sejumlah penghayat dihalang-halangi ketika ingin melakukan ritual kungkum di Sungai Bengawan Solo.

Dengan ini, kata Hendro, sangatlah dibutuhkan sosok pemimpin dan wakil rakyat yang paham betul aturan-aturan kebebasan beragama dan berkepercayaan supaya semakin terwujud situasi kondusif di masyarakat.

Sementara itu, Darmo Setiadi, menilai dalam sisi peraturan perundangan, pemerintah pusat sebenarnya relatif telah menunjukkan banyak kemajuan dan cukup akomodatif untuk penghayat.

Putusan MK Nomor 97/PUU-XIV/2016 tentang perubahan administrasi kependudukan dan Permendikbud No.27/2016 tentang Layanan Pendidikan Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa pada Satuan Pendidikan adalah contoh akomodatifnya pemerintah pusat, menurut dia.

Tetapi, dalam praktiknya, masih banyak informasi dari pusat yang tidak tersampaikan ke daerah.

“Hak kewarganegaraan kepada penghayat sudah terfasilitasi dengan baik oleh pemerintah pusat, namun masih banyak petugas di tingkat kota/kabupaten dan ke bawah (kecamatan, kelurahan/desa, RW, RT) belum memahami mengenai hal kesetaraan penghayat kepercayaan dalam memperoleh fasilitas-fasilitas yang telah diberikan dari pusat,” jelas penghayat Sapta Darma itu.

Dia pun becerita belum lama ini mendengar keluhan dari penghayat Sapta Darma lain yang mengalami kesulitan ketika hendak mengubah identitas KTP karena belum pahamnya petugas di salah satu Kantor Kecamatan di Solo.

“Lalu, ada juga teman yang berkabar, di aplikasi perbankan salah satu bank daerah, kolom penghayat belum diakui. Pilihannya masih agama,” jelasnya.

Ogah golput

Meski minoritas dan mengalami diskriminasi, para penghayat di Solo menunjukkan tetap punya sikap politik berdasar nilai positif dari kepercayaan yang dianut.

Baca juga: Kisah Penghayat Kepercayaan di Gunungkidul, Tak Lagi Susah Urus Administrasi Kependudukan

Tri Suseno misalnya. Tiga pekan sebelum Pemilu, ia mengaku telah mengantongi nama caleg DPRD Kota Solo, celag DPRD Provinsi Jateng, caleg DPR RI, calon anggota DPD RI, serta calon presiden (Capres) dan calon wakil presiden (Cawapres) yang akan dipilihnya pada 14 Februari.

Dari lubuk hati, ia sebenarnya berharap akan ada calon wakil rakyat dan atau pemimpin yang secara terbuka menyatakan dukungan terhadap penghayat dalam Pemilu kali ini. Namun, Seno belum mendapatinya.

Sebagai ganti, warga Kelurahan Nusukan, Banjarsari, itu mengatakan, bakal memilih mereka-mereka setidaknya tidak memiliki peluang untuk melakukan diskriminasi dan diyakini dapat membawa kebaikan bagi masyarakat secara umum dalam berbagai bidang.

Seno menegaskan ogah menjadi golput karena ingin turut serta dalam menentukan masa depan bangsa.

Di samping itu, ia sedang berupaya menjalankan ajaran dari kepercayaannya.

Seno menerangkan, bahwa di dalam ajaran Sapta Darma yang ia anut, terdapat Wewarah Tujuh yang dengan tegas mendorong setiap penghayat ikut berperan aktif dalam kegiatan bernegara.

Pesan itu terutama tertuang dalam Wewarah poin kedua yang berbunyi “kanthi jujur lan sucining ati kudu setya anindakake anger-angger ing Negarane (dengan jujur dan suci hati, harus setia menjalankan perundang-undangan Negaranya)”.

Selain itu, pesan yang sama juga tertera pada Wewarah poin ketiga yang berbunyi “melu cawe-cawe acancut tali wanda njaga adeging Nusa lan Bangsa (Turut serta menyingsingkan lengan baju menegakkan berdirinya Nusa dan Bangsanya)”.

Dari situ, Seno, memaknai golput sebagai sikap yang tidak boleh dijalani karena bertentangan dengan ajaran Kepercayaan.

Halaman Berikutnya
Halaman:

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com