KOMPAS.com - Produksi sampah dari rumah tangga diprediksi melonjak drastis pada 2050, sebut Program Lingkungan Hidup PBB atau United Nations Environment Programme (UNEP) dalam laporan terbarunya.
Lonjakan sampah tersebut akan berdampak negatif terhadap lingkungan, mulai dari polusi hingga memperparah perubahan iklim.
UNEP menyebutkan, jika tidak ada langkah mendesak yang diambil, jumlah sampah yang dihasilkan oleh rumah tangga akan melonjak di seluruh dunia.
Baca juga: Peringati Hari Peduli Sampah, Pertamina Bersih-bersih Pantai Panduri Tuban
Peningkatan sampah tersebut tak lepas dari pertumbuhan ekonomi yang pesat, termasuk di Asia dan Afrika Sub-Sahara. Padahal, banyak negara sudah kesulitan untuk mengelola produksi sampah dengan level saat ini.
UNEP memproyeksikan, ketika dunia menghasilkan sekitar 2,1 miliar ton sampah rumah tangga, kerugian yang ditimbulkan bisa mencapai 640 miliar dollar AS per tahun pada 2050.
Dari total tersebut, 443 miliar dollar AS merupakan eksternalitas, termasuk hilangnya keanekaragaman hayati, sebagaimana dilansir Reuters, Rabu (28/2/2024).
Timbulan sampah rumah tangga yang tinggi juga melepaskan emisi gas rumah kaca (GRK) akibat penguraian sampah organik.
Baca juga: Hampir Rp 500 Juta, BRI Investasi Pengolahan Sampah Bening Saguling
Selain itu, polusi yang disebabkan sampah juga bisa menyebabkan antara 400.000 hingga 1 juta kematian per tahun, menurut UNEP.
UNEP memperingatkan, umat manusia telah mengalami kemunduran selama satu dekade terakhir.
"Menghasilkan lebih banyak limbah, lebih banyak polusi, dan lebih banyak emisi GRK," tulis laporan tersebut.
Berbagai upaya pencegahan sampah dan perbaikan pengelolaan limbah dapat mengurangi dampak tersebut.
Akan tetapi, UNEP menggarisbawahi terdapat hambatan besar dalam melakukan perubahan, seperti lemahnya mekanisme penegakan hukum.
Baca juga: KLHK: Kolaborasi Jadi Kunci Atasi Permasalahan Sampah
Sebuah perjanjian untuk mengatasi polusi plastik yang tidak terurai dan dapat menyebabkan dampak kesehatan yang serius, sedang dinegosiasikan. Putaran keempat perundingan perjanjian tersebut dijadwalkan berlangsung pada April.
Direktur Eksekutif UNEP Inger Andersen berharap, perjanjian tersebut dapat diselesaikan pada akhir tahun ini.
"Ada ketertarikan, terutama di antara negara-negara yang memproduksi polimer mentah, namun seperti yang selalu saya sampaikan kepada mereka, ini bukanlah perjanjian anti-plastik," kata Andersen kepada Reuters.
Dia menekankan, masih akan ada kebutuhan akan plastik pada beberapa sektor seperti kendaraan hingga peralatan medis.
"Saya berharap tidak akan ada delegasi yang berkomitmen untuk menghalangi, namun kita bisa menemukan jalan ke depan yang benar-benar mempertimbangkan fakta bahwa kita tenggelam dalam plastik," sambungnya.
Baca juga: Buang Sampah di Reko Waste Station Dapat Saldo E-wallet, Ini Caranya
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya