Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 06/03/2024, 15:00 WIB
Danur Lambang Pristiandaru

Penulis

KOMPAS.com - Pengembangan pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) disebut tidak terlalu membawa dampak berganda terhadap ekonomi lokal.

Hal tersebut mengemuka berdasarkan temuan studi terbaru yang dilakukan oleh Center of Economic and Law Studies (Celios) dengan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Nasional.

Celios dan Walhi melakukan permodelan ekonomi dengan memproyeksikan keberadaan PLTP di tiga lokasi di Nusa Tenggara Timur (NTT) yakni Wae Sano, Sakoria, dan Ulumbu.

Baca juga: PGE dan Chevron Kembangkan WKP Way Ratai di Lampung, Berencana Bangun PLTP

Selain tidak memberikan dampak berganda, kehadiran PLTP juga dipandang sebagai penghambat produktivitas di sektor pertanian dan perikanan.

Menurut permodelan, PLTP di ketiga lokasi tersebut berisiko menurunkan pendapatan petani sebesar Rp 470 miliar pada tahap pembangunan.

Kerugian terhadap output ekonomi mencapai Rp 1,09 triliun pada tahun kedua proses ekstraksi geothermal.

Sementara itu, jumlah tenaga kerja diperkirakan menurun 20.671 orang pada tahun pertama dan 60.700 orang pada tahun kedua.

Hasil studi juga menunjukkan, kehadiran PLTP di tahun pertama akan menurunkan produktivitas pertanian, perikanan, dan perkebunan, yang selama ini menjadi denyut nadi bagi perekonomian masyarakat khususnya di NTT.

Baca juga: Komponen Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP)

Sedangkan untuk tahun-tahun selanjutnya, semakin banyak sektor ekonomi yang akan terus menurun sebagai dampak dari proyek PLTP.

Di sisi lain, PLTP diproyeksikan menjadi teknologi transisi energi nomor wahid dalam rencana investasi atau Comprehensives Investment and Policy Plan (CIPP) Just Energy Transition Partnership (JETP) atau .

Direktur Eksekutif Celios Bhima Yudhistira mengatakan, sebaiknya kerja sama pendanaan internasional seperti JETP tidak memasukkan PLTP sebagai bagian dari rencana utama mencapai transisi energi.

"Secara ekonomi biaya investasi PLTP juga tergolong mahal dan berisiko membebani negara dari sisi subsidi listrik," ungkap Bhima dikutip dari keterangan tertulis, Selasa (5/3/2024).

Kepala Divisi Kampanye Walhi Nasional Fanny Tri Jambore Christanto berujar, tujuan dari transisi energi berkeadilan bukan sekadar mengganti energi kotor dengan sumber energi yang hanya melayani kepentingan pencarian keuntungan.

Baca juga: Cara Kerja Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP)

"Dari yang kita lihat pada operasi-operasi panas bumi yang ada, tidak menunjukkan perbedaan fundamental dalam tata kelola energi untuk bisa kita sebut ini sebagai bagian dari transisi energi berkeadilan," kata Fanny.

Dia menyampaikan, selain masih bercorak eksploitatif, PLTP juga berpotensi memperluas konflik agraria dan meningkatkan ancaman kriminalisasi terhadap rakyat.

Selain itu, ada beberapa ancaman kebencanaan seperti risiko seismik, penurunan muka tanah, perubahan bentang alam, kerusakan dan pencemaran sistem-sistem ekologi, serta masih timbulnya emisi gas rumah kaca.

Sementara itu, Direktur Panas Bumi Ditjen Energi Baru Terbarukan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Harris Yahya mengatakan, perlu ada pengkajian lebih lanjut terkait pengelolaan hasil pendapatan dari PLTP bagi masyarakat lokal.

Merespons pertanyaan soal merebaknya kasus keracunan gas di sekitar area PLTP, Harris menyatakan pentingnya penyelidikan lebih lanjut.

"Kami sudah melakukan penyelidikan di area WKP (wilayah kerja panas bumi), namun kami memang belum melakukan penyelidikan di area-area di mana keluhan keracunan itu terjadi," kata Harris.

Baca juga: Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP): Cara Kerja, Jenis, dan Komponennya

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com