JAKARTA, KOMPAS.com - PT PLN (Persero) berhasil mereduksi emisi karbon hingga 52,3 juta ton sepanjang tahun 2023.
Untuk berhasil menurunkan emisi karbon dalam jumlah besar tersebut, PLN menerapkan setidaknya lima strategi atau cara, di antaranya menggunakan teknologi co-firing hingga efisiensi jaringan transmisi PLTU.
Direktur Transmisi dan Perencanaan Sistem PT PLN Evy Haryadi menjelaskan, pihaknya melakukan sejumlah kegiatan secara rutin dan berkelanjutan (Business As Usual) sehingga mampu menurunkan emisi karbon cukup tinggi.
Baca juga: ESDM Sebut Motor Listrik Mampu Tekan Emisi 40 Persen
“Business As Usual (dari) 335 Juta ton CO2, turun menjadi 283 Juta ton CO2, dengan berbagai extraordinary effort,” ujarnya dalam Road to Investment Days 2024 bertema Powering The Future: Sustainable Energy Transformation for Indonesia 2024, di Jakarta, Rabu (6/3/2024).
Menurutnya, kehadiran teknologi sangat berperan dalam transisi energi.
“Teknologi sangat berperan dalam transisi energi. Di PLN, kami sudah mulai menerapkan teknologi untuk melakukan efisiensi khususnya penurunan emisi,” imbuhnya.
Adapun lima strategi dengan teknologi yang digunakan PLN untuk bisa mengurangi emisi karbon hingga 52,3 juta ton adalah sebagai berikut.
Evy mengatakan, PLN berhasil meruduksi emisi karbon hingga 1 juta ton melalui pemanfaatan biomassa dalam teknologi co-firing. Kegiatan co-firing tersebut dilakukan di 43 lokasi Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang tersebar di Indonesia.
Baca juga: Wujudkan Nol Emisi, OJK Luncurkan Panduan untuk Sektor Perbankan
Lebih lanjut, kata dia, untuk ke depannya PLN menargetkan 52 PLTU bisa menggunakan co-firing pada 2025.
“Saat ini sudah kami lakukan percontohan dan berjalan sekitar 5-10 persen, itu sudah berhasil menurunkan sekitar 1 juta ton karbon,” kata Evy.
Selanjutnya, Evy menyebut pihaknya meningkatkan efisiensi di jaringan transmisi dan distribusi mereka. Strategi ini disebut dapat menurunkan emisi karbon sebesar 2,8 juta ton.
Evy mengatakan bahwa PLN juga melakukan efisiensi pada produksi PLTU. PLN mengganti PLTU subkritikal dengan superkritikal dan ultra-superkritikal.
Subkritikal disebut sebagai teknologi yang sudah tua, atau teknologi pengolahan yang diciptakan pada medio 1980 hingga 1990an.
Baca juga: Emisi 20 Bandara Setara 58 PLTU Batu Bara pada 2019
Teknologi yang dimaksud yakni ketahanan boiler pada temperatur tinggi dan kemampuannya dalam mengolah batu bara.
Semakin terkini teknologi yang dipasang pada boiler, ketahanan PLTU akan semakin baik serta mampu mengolah batu bara rendah kalori dan ramah lingkungan.
Sejauh ini, kategori teknologi pengolahan batu bara PLTU dibagi menjadi kelas yakni subkritikal, super kritikal, dan ultra kritikal.
Ia menyampaikan, pembangkit baru dan yang masih berjalan saat ini sudah menggunakan teknologi superkritikal. Dengan demikian, PLN dapat menekan emisi sekitar 20,8 juta ton CO2.
“Jadi kami masih diizinkan untuk PLTU yang ada, sudah ada di RUPTL, tetapi tidak boleh membangun yang baru. Itu pembangkit-pembangkit yang baru sudah ultra dan super kritikal,” terang Evy.
Selain itu, PLN juga memanfaatkan gas buang dari Pembangkit Listrik Tenaga Gas dan Uap (PLTGU) untuk menghasilkan listrik tambahan.
Cara ini dikatakan dapat menurunkan emisi karbon hingga 7,7 juta ton.
Strategi terakhir, PLN juga sudah menambahkan pembangkit listrik hingga 4 Gigawatt (GW) kapasitas energi baru terbarukan (EBT) dari tahun 2011 hingga 2023.
Dari penggunaan EBT tersebut, PLN dapat menurunkan emisi sebesar 20,1 juta ton karbon.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya