Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 08/03/2024, 18:00 WIB
Hilda B Alexander

Penulis

Berdasarkan laporan Environment, Social, and Corporate Governance (ESG) Report 2023, masing-masing bank masih memberikan pinjaman di sektor energi terbarukan dengan nominal yang sangat kecil.

Baca juga: Wujudkan Nol Emisi, OJK Luncurkan Panduan untuk Sektor Perbankan

Secara berurutan, Bank Mandiri hanya memberikan pembiayaan berkelanjut di sektor energi terbarukan sebesar Rp 9,7 triliun.

Kemudian portofolio kredit kategori kegiatan usaha berkelanjutan (KKUB) BNI di sektor energi terbarukan hanya Rp 10,2 triliun, angka ini mengalami penurunan dari tahun sebelumnya sebesar Rp 10,9 triliun.

Sedangkan, kredit untuk energi terbarukan yang diberikan oleh BRI pada 2023 hanya sebesar Rp 6,02 triliun.

Meski porsi kredit energi terbarukan cenderung meningkat setiap tahunnya, namun jika dibandingkan dengan porsi kredit ekstraktif terutama batubara angka ini masih sangat kecil. 

"Komitmen pemerintah untuk menurunkan emisi gas rumah kaca seharusnya juga tecermin dari keputusan investasi bank-bank BUMN,” ujar Pius kepada Kompas.com, Kamis (7/3/2024).

Sementara, perhitungan emisi yang dihasilkan dari pembiayaan bank BUMN masih sangat tinggi.

Berdasarkan pembiayaan yang diberikan Bank Mandiri menunjukkan sektor pembangkit listrik menghasilkan emisi paling tinggi dengan 2,4 juta ton CO2e, disusul sektor besi dan baja, kemudian minyak dan gas, hingga peternakan.

Baca juga: Kendaraan Listrik Berbasis Baterai Dinilai Reduksi Emisi Lebih Besar

Sementara BNI mendanai sektor industri pengolahan yang menghasilkan 12 juta ton CO2e melalui pembiayaan Rp 123 triliun, disusul sektor perdagangan dengan 3,4 juta ton CO2e dan pertambangan dengan 1 juta ton CO2e.

Untuk BRI, sektor listrik dan gas menghasilkan 6,2 juta ton CO2e disusul sektor manufaktur 2 juta ton CO2e hingga pertambangan dan penggalian menghasilkan emisi 1,8 juta ton CO2e.

Meski demikian, menurut Pius, tanggung jawab pendanaan proyek energi terbarukan tidak begitu saja dapat dilemparkan kepada bank BUMN semata, sebab terdapat aspek kehati-hatian dalam menyalurkan kredit karena tingkat risiko merupakan faktor utama bank dalam penyaluran kredit.

Terlebih, saat ini pembiayaan proyek energi terbarukan masih memiliki sejumlah kendala.

Pertama, adalah Statistik PLN 2022 menunjukan Beban Usaha Pembangkit Rata-rata per kWh energi terbarukan yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan Beban Usaha Pembangkit Rata-rata per kWh yang berasal dari pembangkit listrik batubara.

Kedua, investasi EBT memiliki payback period yang cukup lama, jika dibandingkan dengan batubara.

Baca juga: Transisi Energi Terbukti Ampuh, Peningkatan Emisi 2023 Lebih Rendah dari 2022

Terakhir, terbatasnya pengetahuan perusahaan pengembang mengenai akses pembiayaan EBT dan perbankan mengenai sektor EBT.

Bank-bank BUMN tidak dapat meningkatkan pembiayaan EBT secara maksimal tanpa adanya iklim investasi dan regulasi yang kondusif untuk menurunkan tingkat risiko proyek- proyek EBT.

Sementara, peningkatan pembiayaan energi terbarukan merupakan salah satu strategi untuk mengurangi dampak perubahan iklim.

"Pemerintah juga memiliki tanggung jawab untuk mengeluarkan kebijakan yang akan menurunkan risiko kredit proyek EBT sehingga bank-bank BUMN dapat mengambil tanggung jawab yang lebih besar,” tegas Pius.

 

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Halaman:

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau