"Ketika pohon terakhir ditebang, sungai terakhir diracuni, ikan terakhir ditangkap, baru orang akan menyadari bahwa dia tidak bisa makan uang." (Pepatah Indian SIOUX)
KETIKA revolusi industri mulai bergulir di akhir abad 18, mesin-mesin diciptakan menggantikan tenaga manusia.
Industri-industri manufaktur, pertanian, pertambangan, transportasi dan lainnya bergerak sangat cepat, membuat kesejahteraan manusia meningkat.
Di sisi lain, mesin-mesin memerlukan bahan bakar dan bahan baku yang hampir semuanya diambil dari alam. Eksploitasi sumber daya alam pun semakin masif.
Manusia berada di persimpangan jalan, antara memenuhi kesejahteraan dan ambisi pribadi dengan tanggung jawab terhadap alam untuk diwariskan kepada anak cucunya.
Saya akan membicarakan hal ini dikaitkan dengan industri transportasi udara atau penerbangan. Kebetulan pada Rabu, 6 Maret, saya menjadi bagian dalam acara BloombergNEF Indonesia Roundtable: Decarbonizing Aviation Powered by Sustainable Aviation Fuel.
Sesuai judulnya, yang dibicarakan adalah mengenai pengoperasian penerbangan bebas karbon dengan menggunakan Sustainable Aviation Fuel (SAF). Atau jika diterjemahkan secara bebas untuk masyarakat umum adalah upaya mengurangi polusi udara yang disebabkan oleh operasional penerbangan.
Tujuan dari program dekarbonisasi penerbangan dengan menggunakan SAF adalah untuk mengurangi jejak karbon industri penerbangan dengan beralih dari bahan bakar fosil konvensional ke bahan bakar alternatif yang lebih berkelanjutan.
Hal ini bertujuan menanggulangi dampak lingkungan dari penerbangan, termasuk pengurangan emisi gas rumah kaca dan ketergantungan pada sumber daya bahan bakar fosil yang terbatas.
Penerbangan termasuk salah satu sektor industri yang minim menyumbang polusi udara. Namun polusi udara atau emisi karbon yang disebabkan oleh operasional penerbangan secara global angkanya tetap sangat besar.
Menurut data dari www.sustainabilitybynumbers.com, pada 2019 total emisi CO2 secara global mencapai 37,08 miliar ton. Dari angka tersebut, penerbangan global menyumbang 1,04 miliar ton atau sekitar 2,8 persen.
Dengan pertambahan jumlah penumpang hingga mencapai 10 miliar penumpang pada tahun 2050, Asosiasi Maskapai Penerbangan Internasional (IATA) memprediksi total emisi karbon yang dihasilkan penerbangan global as business as ussual selama tahun 2021-2050, mencapai 21,2 miliar ton.
Industri penerbangan berada pada persimpangan jalan, terus memperjuangkan industrinya, namun juga harus berusaha mengurangi jejak karbonnya.
Munculnya sustainable aviation fuel (SAF) menjadi harapan, jembatan antara ambisi meningkatkan dan mengembangkan industri dengan tanggung jawab terhadap lingkungan. SAF menjadi kata yang populer.
SAF bukan hanya sekadar kata populer, tetapi solusi nyata. Di Indonesia, komitmen terhadap pengelolaan lingkungan mendorong industri penerbangan bergerak maju melakukan inovasi.
Misalnya, proyek percobaan yang dilakukan maskapai Garuda Indonesia, dengan menggunakan SAF dari minyak kelapa sawit yang dikembangkan oleh Pertamina.
Indonesia merupakan penghasil minyak kelapa sawit sebesar 57 persen di dunia sehingga sangat memungkinkan menggunakan minyak kelapa sawit untuk penggunaan non-pangan seperti untuk bahan bakar pesawat.
Selain Sawit, saat ini juga tengah dilakukan riset terhadap tebu sebagai alternatif yang layak untuk SAF. Indonesia juga salah satu penghasil tebu terbanyak, yaitu mencapai 28,9 juta ton pada 2021.
Sementara itu, tengah dikembangkan pengolahan minyak masak bekas atau used cooking oil (UCO) sebagai alternatif yang layak untuk SAF.
Proses produksinya sejauh ini sejalan dengan tujuan keberlanjutan lingkungan. Menggunakan UCO berarti mengolah limbah agar lebih bermanfaat sekaligus mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil.
Untuk menghadirkan sustainbale aviation fuel memang tidak mudah, banyak tantangan dan tahapan yang harus dilalui.
Tantangan tersebut, misalnya, terkait dengan aturan dan sertifikasi, skala produksinya, biaya produksi SAF versus minyak konvensional, ketersediaan bahan baku, infrastruktur, hingga persepsi publik terhadap SAF.
Saat ini masih belum ada aturan baku terkait dari Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (ICAO) terkait penggunaan SAF. ICAO baru mengeluarkan panduan dan rekomendasi. Sehingga belum ada keharusan bagi maskapai penerbangan menggunakan SAF.
Namun jika akan menggunakan SAF, maka harus mendapatkan sertifikasi keselamatan penerbangan terlebih dahulu.
Sedangkan terkait proses produksi SAF juga harus mendapat sertifikasi sehingga proses produksinya tidak justru menambah jejak karbon di udara, namun tetap dalam koridor dekarbonisasi.
Tantangan kedua terkait skala produksi di mana tantangannya adalah memproduksi SAF dalam skala besar sehingga bisa menyaingi jumlah produksi bahan bakar fosil konvensional.
Ketiga, terkait pasokan bahan baku untuk memproduksi SAF secara berkelanjutan juga menjadi tantangan karena selain used cooking oil, kebanyakan bahan bakunya berasal dari bahan-bahan yang dibutuhkan untuk keperluan lain.
Biaya produksi yang masih sangat besar juga menjadi kendala, mengingat saat ini SAF belum bisa diproduksi secara massal dan berkelanjutan.
Selanjutnya, ada juga tantangan di infrastruktur jaringan distribusi seperti depot pengisian bahan bakar pesawat udara (DPPU) di tiap bandara yang kemungkinan juga harus dimodifikasi.
Tantangan terakhir adalah persepsi publik terhadap keselamatan operasional pesawat yang menggunakan SAF dibanding dengan menggunakan avtur konvensional.
Untuk mengatasi tantangan-tantangan ini memerlukan kolaborasi antara berbagai pemangku kepentingan industri, seperti operator penerbangan, pemerintah sebagai pembuat kebijakan, kalangan akademisi dan peneliti untuk dapat membuat produk yang memenuhi standar keselamatan penerbangan, serta masyarakat sebagai pengguna jasa penerbangan.
Bagaimanapun, penggunaan SAF tidak boleh dilakukan dengan mengorbankan penumpang.
Semua stakeholder harus sekreatif mungkin membuat ekosistem yang sehat menuju penggunaan SAF yang masif dan berkelanjutan.
Sangat penting adanya keselarasan antara kebijakan pemerintah, komitmen multilateral, serta kepentingan bisnis untuk memastikan dekarbonisasi dengan penggunaan SAF akan dilakukan dengan cara benar, didukung sepenuhnya oleh ilmu pengetahuan, dan memenuhi standar global keselamatan penerbangan.
Jalan ke depan memang panjang dan berliku. Namun, saya percaya dengan bekerja harmonis satu sama lain, kita dapat keluar dari cuaca buruk dan memasuki ketinggian jelajah stabil dalam masalah dekarbonisasi.
Ya, persoalan ini tidak akan selesai dalam satu, dua, atau bahkan sepuluh tahun.Namun, hal itu tidak boleh mencegah kita untuk memulai upaya kolektif menjaga bumi ini.
Ingat, kita tidak mewarisi bumi, tetapi meminjamnya dari anak-anak kita di masa depan!
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya