Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Peneliti Korsel Sulap Nasi Jadi Daging Sapi, Disebut Lebih Berkelanjutan

Kompas.com - 15/03/2024, 12:00 WIB
Danur Lambang Pristiandaru

Penulis

KOMPAS.com - Para peneliti Korea Selatan (Korsel) berhasil membuat daging sapi artifisial yang terbuat dari butiran nasi.

Terobosan tersebut mereka umumkan dalam sebuah artikel ilmiah berjudul Rice grains integrated with animal cells: A shortcut to a sustainable food system yang diterbitkan di jurnal Matter pada Februari.

Temuan tersebut mereka gadang bakal menjadi sumber protein yang berkelanjutan, terjangkau, dan ramah lingkungan, untuk menggantikan daging sapi betulan.

Baca juga: 1 dari 3 Bayi di Indonesia Kurang Makan Daging, Telur, dan Ikan

Penelitian tersebut dipimpin oleh Profesor Jinkee Hong dari Yonsei University, Korsel, sebagaimana dilansir Reuters, Kamis (14/3/2023).

Jinkee menuturkan, produk yang dia namakan nasi daging sapi tersebut merupakan produk pertama dari jenisnya.

Dia mengolah partikel-partikel dari butiran nasi sebagai bahan baku untuk dijadikan otot dan sel lemak sapi.

Dalam penelitian tersebut, butiran nasi diberi enzim untuk menciptakan lingkungan optimal bagi pertumbuhan sel.

Butiran nasi itu kemudian diinfus dengan sel sapi yang dibudidayakan untuk menghasilkan produk akhir berupa segumpal nasi berwarna merah muda.

Baca juga: Korea Selatan Haramkan Penjualan dan Produksi Daging Anjing

Proses pembuatan nasi menjadi daging sapi artifisial beserta kandungannya yang dilakukan oleh para peneliti dari Yonsei University, Korea Selatan.MATTER JOURNAL Proses pembuatan nasi menjadi daging sapi artifisial beserta kandungannya yang dilakukan oleh para peneliti dari Yonsei University, Korea Selatan.

Untuk diketahui, Jinkee dan timnya bukanlah ilmuwan pertama yang mengerjakan produk daging yang dikembangkan di laboratorium.

Perusahaan-perusahaan di seluruh dunia telah meluncurkan daging hasil budidaya. Salah satu yang terbaru menghasilkan ayam dan belut nabati yang dibudidayakan dari bahan dasar kedelai dan kini dipasarkan di Singapura.

Jinkee dan timnya mengatakan, nasi memiliki keunggulan dalam hal keamanan dibandingkan kedelai atau kacang-kacangan karena lebih sedikit orang yang alergi terhadap beras.

"Jika berhasil dikembangkan menjadi produk pangan, budidaya nasi daging sapi dapat menjadi sumber protein berkelanjutan, khususnya di lingkungan di mana peternakan tradisional tidak dapat dilakukan," kata Jinkee.

Baca juga: Wali Kota Batam Larang Gunakan Plastik untuk Daging Kurban karena Sulit Terurai

Produk daging nasi daging sapi yang dibuat Jinkee dan timnya mengandung sekitar 8 persen lebih banyak protein dan 7 persen lebih banyak lemak dibandingkan beras konvensional.

Hong mencatat bahwa 18 persen protein dari produknya tersebut merupakan protein hewani. Sehingga, menjadikannya sumber yang kaya akan asam amino esensial.

Selain itu, harga daging sapi dari nasi tersebut lebih murah dengan banderol 2 dollar AS (Rp 30.000) per kilogram.

Dengan harga yang terjangkau dan ejak karbon yang jauh lebih kecil dibandingkan daging sapi betulan, Jinkee mengeklaim bahwa produknya dapat bersaing di toko bahan makanan.

Baca juga: Indonesia Jajaki Investasi Penyediaan Sapi Perah dengan Belanda

Di sisi lain, Jinkee tetap mengakui adanya tantangan dari sudut pandang teknis dan dalam menggaet pelanggan dalam hal rasa dan tekstur.

Keum Dong-kyu, yang baru-baru ini mencicipi daging nasi daging sapi tersebut di restoran barbekyu di Seoul, mengatakan ide dari produk tersebut inovatif.

"Tapi sejujurnya, menurut saya ini tidak bisa meniru juiciness atau tekstur daging sapi asli," kata Keum.

Nasi daging sapi tersebut juga dicicipi pengunjung dari Jerman, Christian Krammel.

"Saat ini, penelitian ini belum bisa dibandingkan dengan daging sapi, namun karena saya melihat penelitian ini masih dalam tahap awal, menurut saya ini adalah langkah maju yang bagus," kata Krammel.

Baca juga: Harga Daging Ayam di Pasar Bukit Duri Terus Naik sejak Awal Ramadhan

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Terkini Lainnya
Sistem Pangan Berkelanjutan Punya 3 Hambatan, Salah Satunya Makanan Murah
Sistem Pangan Berkelanjutan Punya 3 Hambatan, Salah Satunya Makanan Murah
Pemerintah
Inggris Genjot Tenaga Angin Darat, Target 29 GW pada 2030
Inggris Genjot Tenaga Angin Darat, Target 29 GW pada 2030
Pemerintah
Perubahan Iklim Terlalu Cepat, Hutan Pun Sulit Beradaptasi
Perubahan Iklim Terlalu Cepat, Hutan Pun Sulit Beradaptasi
LSM/Figur
Waste Station dan Single Stream Recycling, Strategi Rekosistem Ajak Anak Muda Kelola Sampah
Waste Station dan Single Stream Recycling, Strategi Rekosistem Ajak Anak Muda Kelola Sampah
Swasta
Dari Leuser hingga Jakarta, Perempuan dan Komunitas Muda Jadi Garda Depan Lingkungan
Dari Leuser hingga Jakarta, Perempuan dan Komunitas Muda Jadi Garda Depan Lingkungan
LSM/Figur
FIF Kembangkan UMKM hingga Pensiunan lewat Pendanaan Tanpa Bunga
FIF Kembangkan UMKM hingga Pensiunan lewat Pendanaan Tanpa Bunga
Swasta
KG Media Kolaborasi dengan Unilever, Bikin Edukasi Lingkungan Lebih Atraktif
KG Media Kolaborasi dengan Unilever, Bikin Edukasi Lingkungan Lebih Atraktif
Swasta
Baru 370 dari 5000 Sekolah di Jakarta Tanamkan Pendidikan Lingkungan
Baru 370 dari 5000 Sekolah di Jakarta Tanamkan Pendidikan Lingkungan
Swasta
36 Atraktor Dipasang di Belitung Timur, Bantu Nelayan Dapat Cumi
36 Atraktor Dipasang di Belitung Timur, Bantu Nelayan Dapat Cumi
Swasta
KLH Akan Cabut Izin Lingkungan 9 Usaha Pemicu Longsor di Puncak
KLH Akan Cabut Izin Lingkungan 9 Usaha Pemicu Longsor di Puncak
Pemerintah
Banjir Masih Akan Hantui Indonesia, Lemahnya Monsun Australia Faktor Cuacanya
Banjir Masih Akan Hantui Indonesia, Lemahnya Monsun Australia Faktor Cuacanya
Pemerintah
KLH: Perusahaan Harus Ikut PROPER, Banyak yang Belum Patuh
KLH: Perusahaan Harus Ikut PROPER, Banyak yang Belum Patuh
Pemerintah
Usung Kearifan Lokal, BREWi JAYA Jadi Wujud Bisnis Berkelanjutan UB untuk Pendidikan Terjangkau
Usung Kearifan Lokal, BREWi JAYA Jadi Wujud Bisnis Berkelanjutan UB untuk Pendidikan Terjangkau
LSM/Figur
OECD: Biaya Kekeringan Diperkirakan Naik 35 Persen pada 2035
OECD: Biaya Kekeringan Diperkirakan Naik 35 Persen pada 2035
Pemerintah
Ramai PHK dan Susah Dapat Kerja? FAO Ajak Lirik Sektor Pertanian
Ramai PHK dan Susah Dapat Kerja? FAO Ajak Lirik Sektor Pertanian
LSM/Figur
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau