KOMPAS.com - Komisi Nasional Disabilitas (KND) menilai, program pendidikan inklusi di setiap satuan pendidikan dasar maupun menengah dapat menjadi modal awal dalam menghapus stigma negatif mengenai disabilitas.
Ketua Komisioner KND Dante Rigmalia menerangkan, pendidikan inklusi tersebut berupa pemberian pembelajaran secara setara dan bersama-sama kepada semua peserta didik, termasuk yang berkebutuhan khusus.
"Jadi dengan menggabungkan anak disabilitas dengan nondisabilitas di kelas reguler atau pendidikan inklusi, itu jadi satu modal untuk bisa paham, saling memahami, saling mengerti satu sama lain sehingga nanti stigma itu perlahan jadi tidak ada," kata Dante sebagaimana dilansir Antara, Jumat (23/3/2024).
Baca juga: Aksesibilitas Pelabuhan bagi Kaum Disabilitas
Sebab, stigma negatif terhadap anak penyandang disabilitas dalam lingkungan sekolah dasar maupun menengah kerap kali muncul karena tidak adanya pertukaran pengalaman atau informasi mengenai satu sama lain.
Oleh karena itu, pihaknya meyakini pendidikan inklusi menjadi langkah awal untuk mengenalkan keterbatasan serta potensi yang dimiliki oleh tiap anak kepada satu sama lain.
Dengan demikian, metode pendidikan inklusi penting diterapkan sebagai filosofi pendidikan, bukan sekadar program wajib dari pemerintah pusat.
Dengan mengusung filosofi pendidikan inklusi sejak satuan pendidikan dasar, Dante meyakini anak-anak akan memiliki pemahaman mengenai keberagaman, termasuk keberagaman disabilitas secara holistik karena sejak awal belajar dan bermain bersama-sama.
Baca juga: Perempuan Penyandang Disabilitas Rentan Jadi Korban Kekerasan
Selain menerapkan pendidikan inklusi di tingkat dasar dan menengah, pendidikan tinggi juga dituntut membuka lebih banyak program studi yang berkaitan dengan keberagaman kebutuhan penyandang disabilitas.
Dante mengungkapkan, program studi dibutuhkan untuk meningkatkan partisipasi sekaligus menyediakan aksesibilitas dan akomodasi yang layak bagi mereka.
Dia menuturkan, sampai sejauh ini masih sedikit perguruan tinggi yang menyelenggarakan pendidikan guru dengan program studi pendidikan luar biasa (PLB), baik untuk sekolah inklusi maupun sekolah luar biasa, khususnya yang berada di luar pulau Jawa.
Selain itu, universitas yang menyelenggarakan program studi PLB juga masih terkonsentrasi di Pulau Jawa.
Sampai saat ini pun, masih sedikit perguruan tinggi di Indonesia yang membuka program studi terapi dengan kekhususan untuk para penyandang disabilitas seperti terapi wicara, terapi okupasi, fisioterapi, dan terapi lainnya.
Baca juga: Realisasikan Inklusivitas IKN, Komisi Nasional Disabilitas Berharap Dilibatkan
Dante mengatakan, baik jumlah guru maupun terapis masih terhitung sangat sedikit untuk mengafirmasi beragam kebutuhan pendidikan maupun kesehatan penyandang disabilitas, apalagi bila mengaitkannya dengan penyediaan aksesibilitas dan akomodasi yang layak bagi mereka.
Kondisi tersebut belum sesuai dengan jaminan hak dasar para penyandang disabilitas yang meliputi hak hidup, hak bebas dari stigma, hak pendidikan, hak layanan kesehatan, hak politik, keagamaan, hak kesejahteraan sebagaimana yang tercantum dalam undang-undang.
Untuk itu, pihaknya berharap Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) beserta kementerian dan lembaga terkait lainnya dapat berkolaborasi mendukung perguruan tinggi dalam menambah program studi yang berkaitan dengan keberagaman disabilitas.
Dengan kolaborasi itu, dia meyakini ada lebih banyak penyandang disabilitas yang mendapatkan kesempatan untuk mengembangkan hidup dengan lebih baik dan layak.
Baca juga: 3 Penyandang Disabilitas Lolos Ikuti Seleksi SIPSS Tingkat Pusat
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya