Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ribuan Triliun Kredit Global Mengalir ke Korporasi yang Berpotensi Merusak Lingkungan

Kompas.com - 27/03/2024, 09:00 WIB
Hilda B Alexander

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Sejumlah organisasi masyarakat sipil di Uni Eropa merilis laporan terbaru yang mengungkap kaitan antara lembaga keuangan dan kerusakan lingkungan hidup.

Laporan ini menganalisis data yang disusun lembaga riset Profundo, dan menunjukkan bukti bahwa sejak penandatanganan Perjanjian Paris pada akhir 2015, ada sekitar 1,257 triliun dolar AS atau ekuivalen Rp 19.842 triliun kredit global mengalir ke grup-grup perusahaan di sektor yang berisiko terhadap ekosistem dan iklim.

Bertajuk “Uni Eropa Membiayai Perusakan Ekosistem” (EU bankrolling ecosystem destruction), laporan yang dirilis Greenpeace International, Friends of the Earth Belanda, dan sejumlah organisasi masyarakat sipil di Uni Eropa tersebut menyoroti aliran pendanaan dari lembaga-lembaga keuangan di Uni Eropa.

Baca juga: Hilirisasi Nikel Babat Puluhan Ribu Hektare Hutan di Halmahera

Berdasarkan riset ini, seperlima dari kredit global atau sekitar Rp 4.394 triliun di antaranya berasal dari lembaga-lembaga keuangan di 27 negara anggota Uni Eropa.

Pendanaan tersebut mengalir ke 135 perusahaan atau pemain utama di sektor yang berisiko terhadap lingkungan hidup, seperti kedelai, peternakan, kelapa sawit, karet, kayu, dan komoditas lainnya yang berpotensi tinggi merusak ekosistem.

Perusahaan-perusahaan besar dari berbagai negara, seperti JBS (Brasil), Cargill (Amerika Serikat), hingga dua grup bisnis besar Indonesia, Royal Golden Eagle dan Sinarmas, turut disebut dalam laporan ini sebagai penerima dana dari lembaga keuangan Uni Eropa.

Namun, kedua grup perusahaan RGE dan Sinarmas tak membenarkan maupun menampik menerima dana dari lembaga keuangan di Uni Eropa.

Mereka mengeklaim telah mengadopsi bisnis berkelanjutan dan membantah terlibat dalam deforestasi serta kebakaran hutan dan lahan.

Baca juga: Ironis, Bank Eropa Danai Industri Nikel yang Dianggap Merusak Lingkungan

Dengan temuan ini, organisasi masyarakat sipil secara spesifik menyoroti komitmen iklim Uni Eropa.

Di satu sisi Uni Eropa memiliki kebijakan anti-deforestasi, tapi di sisi lain lembaga-lembaga keuangan yang berasal dan berbasis di negara-negara anggotanya masih mengalirkan kredit dan berinvestasi ke perusahaan-perusahaan yang berpotensi merusak lingkungan.

Adapun lembaga keuangan di Indonesia juga perlu berefleksi dari laporan ini, mengingat kebijakan keuangan berkelanjutan yang tengah diorkestrasi oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) masih jauh dari ideal. 

Manajer Kampanye Hutan dan Kebun Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Uli Arta Siagian menegaskan, Uni Eropa dan Indonesia perlu lebih ketat meregulasi lembaga-lembaga keuangan di negara masing-masing agar lebih bertanggung jawab dan tidak ikut membiayai perusakan lingkungan.

Baca juga: Wujudkan Nol Emisi, OJK Luncurkan Panduan untuk Sektor Perbankan

"Hal ini sebenarnya sudah menjadi catatan kami dan Milieudefensie (Friends of the Earth Belanda) pada saat pembahasan draf  Undang-Undang Komoditas Bebas Deforestasi Uni Eropa atau EUDR dulu. Penting bagi Uni Eropa untuk membuktikan komitmen pelindungan iklim mereka,” kata Uli.

EUDR yang diadopsi pada Mei 2023, disebut sebagai langkah Uni Eropa untuk mencapai komitmen iklim dan keanekaragaman hayati global mereka.

Kebijakan itu bertujuan mengurangi dampak lingkungan dari konsumsi Uni Eropa, dengan mewajibkan korporasi untuk menjamin bahwa produk-produk mereka tak berasal dari deforestasi–yang terjadi setelah Desember 2020.

Kendati begitu, beleid itu belum mengatur tentang pendanaan yang mengalir ke perusakan lingkungan.

Maka dari itu, organisasi lingkungan dan HAM mendesak Komisi Uni Eropa untuk memperbaiki kebijakan tersebut dengan mengajukan proposal legislasi sebelum Juni 2025. 

Baca juga: Indonesia-Norwegia Sepakat Pendanaan Tahap 4 GRK Turunkan Deforestasi

Poin penting lain yang perlu diperbaiki dari kebijakan anti-deforestasi Uni Eropa ialah perlindungan hak-hak masyarakat adat dan petani swadaya.

Uni Eropa mesti memastikan proses ketertelusuran atau traceability mereka dapat diakses dan berkeadilan untuk para petani swadaya.

Adapun menyangkut masyarakat adat, kebijakan EUDR saat ini belum tegas menekan negara-negara produsen untuk menghormati hak-hak masyarakat adat.

Di Indonesia, praktik-praktik industri sawit pada masa lalu terbukti merampas lahan masyarakat adat dan menghancurkan hutan.

Praktik serupa masih mungkin berlanjut, apalagi jika melihat pemerintah Indonesia yang sangat defensif menyikapi EUDR.

Baca juga: Neutura Raup Pendanaan Angel COP28 untuk 2 Proyek Penyerap Karbon

Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia Arie Rompas mengatakan, temuan laporan ini harus menjadi perhatian khusus gugus tugas EUDR yang beranggotakan Indonesia, Malaysia, dan Uni Eropa, untuk memastikan aliran dana investasi ini hanya disalurkan guna pengembangan pekebun kecil dan rantai pasok yang bebas deforestasi.

Di tengah berbagai bencana iklim yang semakin masif, perbankan Uni Eropa jangan lagi mendanai perusahaan yang terlibat perusakan lingkungan.

"Pemerintah Indonesia juga harus memperkuat komitmen iklimnya dengan memastikan tak ada lagi deforestasi, karena ini besar sekali kontribusinya memperparah krisis iklim,” tuntas Arie.

 

 

 

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau