KOMPAS.com - Bukan rahasia lagi jika industri nikel di Indonesia banyak dibiayai oleh investor asal China. Namun demikian, tak banyak yang mengetahui, perbankan Eropa juga gencar mengucurkan dana jumbo untuk pertambangan dan smelter di Tanah Air.
Menurut hasil riset Lembaga Penelitian dan Advokasi Kebijakan The Prakarsa, secara umum industri nikel di Indonesia masih bergantung pada pinjaman, obligasi, dan ekuitas, dengan sebagian besar sumber pendanaan berasal dari institusi keuangan asing.
Jumlah pinjaman terbesar mengalir dari bank-bank di China, namun terdapat sindikasi pembiayaan pinjaman yang berasal dari perbankan nasional yaitu dari Bank Mandiri dan BRI. Selain itu, bank dari Singapura seperti DBS juga terlibat dalam berbagai pembiayaan proyek smelter.
Ironisnya, dalam temuan tahun 2023 tersebut, lembaga keuangan asal Eropa juga turut membiayai perusahaan nikel Indonesia. Termasuk pembiayaan PLTU batu bara captive yang diperlukan pada smelter nikel.
Baca juga: Kecelakaan Kerja Berulang di Smelter Nikel, Walhi: Pemerintah Abai
"Selain dari China, kita petakan institusi keuangan dari bank Eropa yang juga berkontribusi dalam pembiayaan itu ada HCBC, kemudian ING, Standard Chartered dan sebagainya," ujar Peneliti The Prakarsa Ricko Nurmansyah, dalam Diskusi Publik Transisi Energi yang Berkeadilan, di Jakarta, Selasa (9/1/2024).
Rinciannya, paling besar pembiayaan ke proyek nikel disalurkan oleh HSBC senilai 1,09 miliar dollar AS berupa pinjaman sindikasi untuk pembangunan smelter, kawasan industri baterai.
Lalu, diikuti oleh Santander dengan 711 juta dolar AS dalam bentuk pinjaman sindikasi, dan Standard Chartered Bank dengan 650 juta dollar AS dalam bentuk yang sama.
Dalam data tersebut, beberapa perusahaan Eropa lainnya termasuk BNP Paribas, Barclays Bank PIc, HSBC, Credit Agricole, ING Bank, dan Natixis. Bentuk keterlibatan bank-bank Eropa itu cukup beragam, paling banyak dalam bentuk pinjaman sindikasi dan obligasi.
Artinya, kata Ricko, hal tersebut patut dipertanyakan. Sebab, sebelumnya sudah ada komitmen hijau dari lembaga jasa keuangan Eropa untuk mengurangi dan bahkan menghentikan pendanaan proyek batubara.
"Bank-bank Eropa itu ternyata sudah memiliki komitmen untuk melakukan pembiayaan berkelanjutan, yang harusnya terbebas dari pelanggaran HAM, bebas dari dampak lingkungan, mereka harusnya terbebas dari pembiayaan-pembiayaan itu," tegasnya.
Baca juga: Masifnya Tambang Nikel di Sulawesi Picu Deforestasi dan Dampak Lingkungan
Namun, faktanya, dalam pembiayaan bank-bank Eropa tersebut masih tercantum industri nikel dan smelter lainnya di Indonesia.
Ricko menilai, pembiayaan yang dialirkan oleh Lembaga Jasa Keuangan (LJK) kepada industri nikel masih belum memperhatikan prinsip-prinsip bisnis berkelanjutan yang berlandaskan aspek Lingkungan, Sosial, dan Tata Kelola (LST).
Penyebabnya adalah industrialisasi dan hilirisasi nikel masih banyak meninggalkan jejak kerugian terhadap degradasi lingkungan dan pelanggaran HAM.
"Hal ini seharusya menjadi catatan serius bagi LJK sebagai pengalir dana, serta pemangku kebijakan yang mengawasi proses berjalannya industri ini," tuntas Ricko.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya