KOMPAS.com - Pertumbuhan energi terbarukan hingga 2023 masih jauh dari target 2030 yang ingin melipatgandakan enegri terbarukan.
Menurut laporan Badan Energi Terbarukan Internasional atau International Renewable Energy Agency (Irena), energi terbarukan global bertambah 473 gigawatt (GW).
Dari jumlah tersebut, lebih dari separuhnya atau 62,9 persen berasal dari China dengan penambahan kapasitas pembangkit listrik energi terbarukan 297,6 GW.
Baca juga: Wilayah di Papua Ini Bakal Andalkan 100 Persen Energi Terbarukan
Hal ini mencerminkan ketimpangan yang sangat besar dengan wilayah lain, terutama di Afrika.
Sebagian besar negara-negara berkembang justru tertinggal, meskipun terdapat kebutuhan ekonomi dan pembangunan yang sangat besar.
Meskipun Afrika mengalami sedikit pertumbuhan, perkembangan energi terbarukan di "Benua Hitam" tidaklah yakni hanya meningkat 62 GW.
Pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) mendominasi perluasan kapasitas pembangkit listrik terbarukan di dunia.
Di China, harga keekonomian PLTS dan pembangkit listrik tenaga bayu (PLTB) yang semakin kompetitif dibandingkan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara dan pembangkit listrik tenaga gas (PLTG) menjadi faktor utama booming-nya energi terbarukan.
Baca juga: Slovakia Setop Produki Listrik dari PLTU, Andalkan PLTN dan Energi Terbarukan
Wilayah lain yang mengalami ekspansi energi terbarukan yang signifikan adalah Timur Tengah dengan peningkatan 16,6 persen dan Oseania dengan peningkatan 9,4 persen.
Pembangkit listrik enegri terbarukan di negara-negara G7 secara keseluruhan meningkat sebesar 7,6 persen ddengan tambahan kapasitas 69,4 GW pada tahun lalu.
Sementara itu, negara-negara G20 meningkatkan kapasitas pembangkit listrik energi terbarukan sebesar 15,0 persen.
Agar kapasitas dapat mencapai lebih dari 11 TW untuk target energi terbarukan tiga kali lipat. negara-negara G20 sendiri harus mencapai kapasitas energi terbarukan sebesar 9,4 TW pada 2030.
Baca juga: Smelter Freeport di Gresik Gunakan Sertifikat Energi Terbarukan PLN
Direktur Jenderal Irena Francesco La Camera mengakui, kapasiatas energi terbarukan secara global memang melonjak.
Energi terbarukan juga menjadi satu-satunya teknologi yang tersedia untuk secara cepat meningkatkan transisi energi agar sejalan dengan tujuan Perjanjian Paris.
"Namun demikian, data ini juga berfungsi sebagai tanda bahwa kemajuan tidak berjalan cukup cepat untuk menambah kebutuhan energi terbarukan sebesar 7,2 terawatt (TW) dalam tujuh tahun ke depan, sesuai dengan Skenario 1,5 drajat celsius," kata La Camera dalam siaran persnya, Sabtu (27/3/2024).
Dia menambahkan, dibutuhkan intervensi dan koreksi global untuk mengatasi hambatan dan ketimpangan.
Intervensi juga diperlukan guna menciptakan nilai lokal di negara berkembang yang banyak di antaranya masih tertinggal.
Baca juga: Sambut Green Jobs, Ini 5 Lapangan Kerja dari Energi Terbarukan
"Pola konsentrasi dalam geografi dan teknologi mengancam semakin intensifnya ketimpangan dekarbonisasi dan menimbulkan risiko signifikan terhadap pencapaian target tiga kali lipat energi terbarukan," tutur La Camera.
Irena menegaskan, ketimpangan pertumbuhan energi terbarukan tidak hanya berdampak pada distribusi geografis, namun juga penerapan teknologi.
Irena merekomendasikan peningkatan pendanaan secara besar-besaran dan kolaborasi internasional yang kuat untuk mempercepat transisi energi, dan menempatkan negara-negara berkembang sebagai prioritas utama.
Investasi diperlukan dalam jaringan listrik, pembangkitan, fleksibilitas, dan penyimpanan energi.
Agas mencapai target energi terbarukan tiga kali lipat pada 2030, dibutuhkan penguatan kelembagaan, kebijakan, dan keterampilan.
Baca juga: Mengejar 100 Persen Energi Terbarukan di Nusa Penida Bali
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya