Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Munawar Khalil N
Aparatur Sipil Negara

Aparatur Sipil Negara

Air, Kekeringan, dan Ketahanan Pangan Berkelanjutan

Kompas.com - 14/05/2024, 15:03 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

ENAM ratus tahun sebelum Masehi, Thales mengatakan bahwa air adalah asal usul alam semesta. Tanpa adanya air, kehidupan tidak akan terjadi.

Apa yang diungkapkan oleh filsuf Yunani ini selalu relevan dalam setiap waktu, terlebih hari ini kita dihadapkan pada persoalan air dan kekeringan yang berkaitan erat dengan keberlanjutan hidup manusia.

Dikutip dari berbagai sumber, tahun 2023 menjadi tahun dengan suhu udara tertinggi. Suhu rata-rata tahun 2023 mencapai 27,2 derajat celcius di mana angka ini lebih tinggi 0,5 derajat dibandingkan suhu rata-rata periode 1991-2020.

Kepala BMKG Dwikorita Karnawati menyebut, situasi ini terjadi sebagai dampak perubahan iklim yang menekan sumber daya air yang semakin sedikit dan terjadi El Nino yang memicu kekeringan berkepanjangan.

Hal ini menjadi perhatian banyak negara karena dampaknya pada ketahanan stok pangan, baik secara global maupun nasional. FAO memperkirakan pada 2050 mendatang, akan terjadi bencana kelaparan akibat krisis pangan jika kondisi ini terus menerus terjadi.

Menurut BPS, produksi beras di Indonesia pada periode Januari sampai Mei 2024 diperkirakan mencapai 16,43 juta ton. Angka ini mengalami penurunan mencapai 11 persen atau sekitar 2,2 juta ton dibandingkan dengan periode yang sama di tahun 2023 di mana produksi beras mencapai 18,63 juta ton.

Hal ini ditengarai sebagai dampak dari El Nino sehingga masa tanam di tahun 2023 mengalami kemunduran dan memengaruhi tingkat produksi di awal tahun 2024.

Panen raya akan segera berakhir pada akhir Mei 2024, sementara menurut BMKG fenomena El Nino akan menuju netral pada periode Mei, Juni, dan Juli 2024.

Oleh karena itu, penyiapan tata kelola air di sektor pertanian sangat penting guna mengantisipasi dampaknya terhadap produksi.

Pemerintah lantas berupaya meminimalkan dampak El Nino dengan berbagai strategi. Di hulu, Kementerian Pertanian sebagai institusi yang berfokus pada menjaga dan meningkatkan produksi pangan mengambil langkah pompanisasi yang bisa membantu petani menanam dan berproduksi secara cepat dan maksimal.

Pompanisasi ini menyediakan air hingga ke lahan yang menyasar 2 juta hektare lahan kering untuk mengairi lahan di luar irigasi reguler dengan menggunakan pompa.

Apa yang terjadi hulu tersebut tentunya berdampak pada kebijakan di hilir di mana pada akhirnya pemerintah memutuskan untuk melakukan impor beras.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), produksi beras mencapai 31,1 juta ton, sedangkan konsumsi beras sebesar 30,6 juta ton. Artinya masih ada surplus sekitar 500.000 ton.

Akan tetapi, surplus tersebut tidak bisa menjadi “pegangan” pemerintah, karena melihat neraca beras bulanan di mana surplus hanya terjadi di 4 bulan, sedangkan selebihnya, yakni selama 8 bulan neraca beras bulanan mengalami defisit.

Jika dilihat dari hasil survei stok beras yang dilakukan NFA, Kementan, dan BPS, di akhir tahun 2023 terdapat surplus sekitar 4,1 juta ton.

Namun jumlah tersebut tersebar di berbagai tempat, rumah tangga menempati porsi paling besar, yaitu 2,7 juta ton atau 66 persen dari total surplus.

Sementara stok surplus berikutnya secara berurutan di Bulog ada 810.000 ton atau 19,6 persen, di pedagang 278.000 ton atau 6,7 persen, di horeka (hotel, restoran, dan katering) sebesar 156.000 ton atau 3,7 persen, dan di penggilingan sebanyak 145.000 ton atau 3,5 persen.

Artinya, kelebihan stok beras tersebut tidak dikuasai oleh pemerintah sehingga lagi-lagi ini juga tidak bisa menjadi “pegangan” pemerintah untuk melakukan intervensi stabilisasi pangan.

Kondisi ini memaksa pemerintah akhirnya menetapkan target importasi beras tahun 2024 sebesar 3,6 juta ton untuk menjamin stok Cadangan Beras Pemerintah tetap terjaga.

Pada saat sama, pemerintah melalui penugasan Badan Pangan Nasional kepada Perum Bulog, terus memacu penyerapan gabah/beras petani di dalam negeri, sehingga apabila produksi dan serapan beras produksi dalam negeri memadai, kebijakan importasi tersebut dapat ditekan atau diturunkan.

World Water Forum

Apa yang diuraikan di atas menggambarkan betapa signifikannya air sebagai sebagai infrastruktur pertanian yang berdampak ketersediaan dan stabilitas pangan, sehingga hal ini merupakan sesuatu yang sudah semestinya menjadi perhatian semua pihak.

World Water Forum (WWF) ke-10 yang digelar pada tanggal 18 sampai 25 Mei 2024, di Bali, menjadi momentum yang baik untuk meneguhkan peran dan komitmen Indonesia sebagai tuan rumah forum global ini dalam kaitannya dengan pembangunan tata kelola air berkelanjutan khususnya mengenai signifikansinya terhadap ketahanan pangan.

Mengutip siaran resmi pemerintah terkait hal ini, WWF akan fokus membahas empat hal, yakni konservasi air (water conservation), air bersih dan sanitasi (clean water and sanitation), ketahanan pangan dan energi (food and energy security), serta mitigasi bencana alam (mitigation of natural disasters).

Penyelenggaraannya terdiri atas tiga komponen, yaitu proses tematik, proses regional, serta proses politik.

Mengenai hal ini, kita perlu mengapresiasi komitmen pemerintah di mana salah satu isu yang didorong di WWF adalah berkaitan dengan aspek air sebagai infrastruktur Pertanian untuk menopang ketahanan pangan.

Mengutip siaran pers resmi pemerintah, Indonesia akan memperkenalkan inisiatif dan inovasi yang telah dilakukan di bidang pengelolaan air.

Ini termasuk pemanfaatan teknologi untuk efisiensi air dalam berbagai sektor seperti pertanian pengelolaan irigasi Subak di Bali yang sudah diakui oleh UNESCO dalam tata kelola irigasi melalui sistem kearifan lokal.

Praktik baik dalam tata kelola air diharapkan dapat mendorong kolaborasi global dalam mengatasi krisis air dan krisis iklim global.

Momentum Indonesia sebagai tuan rumah WWF membutuhkan keterlibatan dari semua pihak dalam berkontribusi terhadap tata kelola air secara berkelanjutan. Ini bukan tugas pemerintah semata, tapi tugas kita semua pada level dan kapasitas masing-masing.

Pemerintah melalui serangkaian isu yang didorong dalam forum global tersebut harus kita dukung dan cermati. Bahkan masukan-masukan yang konstruktif dari berbagai pihak perlu disuarakan dan dipertimbangkan, sehingga WWF dapat menghasilkan kesepakatan yang diharapkan.

Pada tataran individu, WWF diharapkan menjadi semacam refleksi yang menggerakkan setiap kita untuk melihat eksistensi air sebagai unsur vital dalam kehidupan, sehingga menghadirkan kesadaran yang berbuah langkah-langkah kecil dan sederhana untuk memanfaatkan air secara efisien.

Bagi umat Islam, sesederhana menggunakan air untuk berwudhu secukupnya, tidak hanya dipandang sebagai bagian dari menjalankan perintah Nabi untuk tidak mubazir, tapi juga mestinya dipandang sebagai kontribusi kecil untuk menjaga keberlanjutan sehingga air dapat dimanfaatkan secara bersama di masa depan, sesuai tema WWF ke-10 “Water for Shared Prosperity” atau “Air untuk Kemakmuran Bersama”.

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau