KOMPAS.com - Gelombang panas yang melanda Filipina pada bulan April tidak akan mungkin terjadi tanpa krisis iklim.
Temuan tersebut mengemuka berdasarkan studi terbaru dari World Weather Attribution (WWA) yang dirilis pada Selasa (14/5/2024).
Selain Filipina, panas terik di atas 40 derajat celsius melanda sebagian besar wilayah Asia selama April, sebagaimana dilansir The Guardian.
Baca juga: Ratusan Ribu Ikan di Vietnam Mati saat Gelombang Panas
Studi tersebut menemukan, suhu panas ekstrem 45 kali lebih mungkin terjadi di India dan lima kali lebih mungkin terjadi di Israel dan Palestina karena pemanasan global.
Para ilmuwan mengatakan, suhu tinggi yang terjadi bulan lalu memperburuk krisis kemanusiaan yang sudah mengerikan di Gaza akibat gempuran Israel.
Gelombang panas "mustahil" lainnya melanda Afrika barat dan Sahel pada akhir Maret. Bahkan di Mali, suhu tertinggi yang tercatat mencapai 48,5 derajat celsius.
Para ilmuwan memperingatkan kemungkinan yang lebih buruk akan terjadi. Jika suhu global naik hingga 2 derajat celsius, panas ekstrem yang sudah terjadi pada April diperkirakan akan terulang setiap dua hingga tiga tahun sekali di Filipina dan setiap lima tahun di Israel, Palestina, dan negara-negara sekitarnya.
"Dari Gaza, Delhi, hingga Manila, banyak orang menderita dan meninggal ketika suhu di Asia melonjak pada April," kata Friederike Otto dari Imperial College London, bagian dari tim studi WWA.
Baca juga: PLTS Selamatkan Eropa dari Krisis Energi akibat Gelombang Panas
Dia menambahkan, biang keladi dari panas ekstrem tersebut adalah krisis iklim yang dipicu oleh pembakaran bahan bakar fosil seperti minyak, gas, dan batu bara.
Konsultan di Pusat Iklim Palang Merah Bulan Sabit Merah Carolina Pereira Marghidan mengatakan, panas ekstrem memperburuk krisis kemanusiaan yang sudah mengerikan di Gaza.
Padahal, para pengungsi di Gaza tidak memiliki akses terhadap makanan, air, layanan kesehatan, dan secara umum.
"Dan secara umum mereka tinggal di tempat penampungan yang penuh sesak dan memerangkap panas, atau tinggal di luar ruangan," ujar Marghidan.
Pemanasan global membuat suhu 1,7 derajat celsius lebih panas di Israel, Palestina, Suriah, Lebanon, dan Yordania.
Baca juga: Wanita Jadi Kelompok Paling Parah Terdampak Gelombang Panas
Pemanasan global juga membuat suhu 1 derajat celsius lebih panas di Filipina, di mana 4.000 sekolah ditutup dan kolam-kolam portabel didirikan untuk membantu orang-orang menenangkan diri.
Di India, suhu panas tertinggi yang tercatat adalah 46 derajat celsius.
Studi ini menggunakan data cuaca dan model iklim untuk membandingkan kemungkinan gelombang panas di iklim yang lebih panas saat ini dan di iklim tanpa pemanasan yang disebabkan oleh manusia.
Para peneliti menemukan bahwa fenomena El Nino hanya berdampak kecil terhadap peningkatan kemungkinan terjadinya gelombang panas.
Marghidan menuturkan, Asia memiliki beberapa kota terbesar dan dengan pertumbuhan tercepat di dunia.
Baca juga: Perubahan Iklim Bikin Gelombang Panas Jadi Lebih Ganas
"Urbanisasi yang pesat ini dalam banyak kasus telah menyebabkan pembangunan yang tidak terencana, peningkatan beton di seluruh kota, dan hilangnya ruang hijau secara ekstrem di banyak kota," ucap Marghidan.
"Dia mengatakan pekerja di luar ruangan seperti petani dan pedagang kaki lima serta mereka yang berada di perumahan informal sangat rentan terhadap cuaca panas.
Penelitian tersebut juga menekankan perlunya peningkatan program peringatan dini dan perencanaan gelombang panas.
Mariam Zachariah dari Imperial College London, yang merupakan bagian dari tim studi, mengatakan dunia perlu bergerak bersama melawan pemanasan global.
"Jika dunia tidak mengambil langkah besar yang belum pernah terjadi sebelumnya untuk mengurangi emisi dan menjaga pemanasan hingga 1,5 derajat celsius, panas ekstrem akan menyebabkan penderitaan yang lebih besar di Asia," jelas Zachariah.
Baca juga: Alarm Krisis Iklim, Suhu China Tembus 52 Derajat, AS Dilanda Gelombang Panas Ekstrem
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya