KOMPAS.com - Berdasarkan penelitian terbaru dari University of Amsterdam (UvA), individu yang pernah menjadi korban banjir, gelombang panas, atau jenis bencana terkait iklim lainnya memiliki kecenderungan yang jauh lebih besar untuk menganggap perubahan iklim sebagai sebuah ancaman yang sangat serius.
Temuan ini dipublikasikan di jurnal Environmental Research Letters.
Penelitian yang dilakukan oleh Fabian Dablander dari lembaga iklim baru UvA bernama SEVEN ini, menganalisis data survei yang representatif secara nasional dari lebih dari 128.000 orang di 142 negara.
Hasilnya menunjukkan pola yang jelas dan konsisten. Individu yang secara pribadi pernah mengalami bahaya terkait iklim dalam lima tahun terakhir lebih cenderung menggambarkan perubahan iklim sebagai ancaman yang sangat serius dibandingkan dengan orang-orang di negara yang sama yang tidak pernah mengalami peristiwa tersebut.
Salah satu temuan yang paling menarik adalah kuatnya pengaruh gelombang panas dalam membentuk persepsi risiko.
Baca juga: Negara Pulau Kecil Perlu 12 Miliar Dolar AS per Tahun untuk Hadapi Perubahan Iklim
Melansir Phys, Rabu (15/10/2025) pengalaman langsung dengan gelombang panas terbukti meningkatkan kecenderungan seseorang untuk menganggap perubahan iklim sebagai bahaya serius, sebanding dengan pengaruh yang diberikan oleh faktor pendidikan tinggi yang selama ini dikenal sebagai indikator paling andal dalam memprediksi kesadaran iklim.
Studi ini menemukan bahwa dampak banjir, kekeringan, dan gelombang panas terhadap persepsi risiko sangat bervariasi di berbagai negara. Sebaliknya, bencana lain seperti badai besar dan kebakaran hutan memicu reaksi yang lebih seragam secara global.
Lebih lanjut, peristiwa yang jarang terjadi sekalipun, seperti tanah longsor, juga berhubungan dengan meningkatnya persepsi bahaya iklim, yang membuktikan betapa besarnya dampak psikologis yang ditimbulkan oleh pengalaman menghadapi bencana alam.
Akan tetapi, temuan ini juga menunjukkan bahwa meskipun pengalaman pribadi terhadap bencana berdampak besar, pengaruhnya tidak selalu meluas ke kesadaran nasional.
Negara-negara yang sering terpapar bencana iklim tidak selalu memiliki tingkat persepsi risiko iklim yang tinggi secara keseluruhan.
Sebagai contoh, meskipun banjir adalah bencana paling umum di dunia, tingkat kekhawatiran nasional terhadap perubahan iklim di beberapa daerah rawan banjir justru tergolong rendah.
Ini mengindikasikan bahwa pemberitaan media, sikap para pemimpin politik, dan narasi budaya berperan besar dalam membentuk interpretasi masyarakat terhadap pengalaman bencana yang mereka alami.
Perbedaan juga terlihat antar wilayah. Penduduk Amerika Selatan adalah yang paling mungkin menganggap perubahan iklim sebagai ancaman yang sangat serius, dengan hampir tiga perempat dari mereka yang disurvei mengatakan demikian, sementara di Eropa angkanya mendekati setengah.
Sementara itu, penduduk Oseania melaporkan tingkat keseluruhan pengalaman bencana yang paling tinggi, dengan lebih dari empat dari sepuluh mengatakan bahwa mereka telah mengalami setidaknya satu peristiwa ekstrem dalam lima tahun terakhir. Eropa memiliki tingkat terendah orang yang melaporkan pengalaman bencana, yaitu dua dari sepuluh.
"Pengalaman pribadi memiliki kekuatan untuk menembus batas-batas statistik abstrak dan perdebatan politis," ujar Dablander.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya