TANGERANG, KOMPAS.com - Indonesia diperkirakan bisa menjadi pemimpin industri penyimpanan karbon atau carbon capture and storage (CCS) dan carbon capture, utilization and storage (CCUS) di kawasan Asia Tenggara.
Presiden Indonesia Petroleum Association (IPA) Yuzaini bin Md Yusof mengatakan, Pemerintah Indonesia sudah mengeluarkan sejumlah regulasi teknologi penyimpanan karbon.
Regulasi tersebut merupakan yang pertama di kawasan Asia sehingga membuat Indonesia jadi negara terdepan dalam penerapan CCS.
"Kebijakan-kebijakan ini adalah yang pertama di Asia. Indonesia memiliki posisi yang baik untuk menjadi pemimpin regional dalam CCS," ujar Yuzaini dalam kegiatan IPA Convex di ICE BSD City, Tangerang, Selasa (14/5/2024).
Baca juga: Peningkatan Karbon Dioksida Capai Rekor Tertinggi dalam 500.000 Tahun
Sehingga, ia melanjutkan, dapat membantu kawasan Asia Tenggara melakukan dekarbonisasi sambil meningkatkan industri dan perekonomian dalam negeri, untuk mencapai target emisi karbon atau net zero emission (NZE) di Indonesia.
Secara lengkapnya, kedua peraturan tersebut adalah Perpres Nomor 14 Tahun 2024 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Penangkapan dan Penyimpanan Karbon.
Kemudian, Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (Permen ESDM) Nomor 2 Tahun 2023 tentang Penyelenggaraan Penangkapan dan Penyimpanan Karbon, serta Penangkapan, Pemanfaatan, dan Penyimpanan Karbon pada Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi.
"Visi ambisius ini memiliki potensi tidak hanya untuk menciptakan bisnis baru namun juga akan menarik investasi dan mendorong pertumbuhan berkelanjutan jangka panjang," imbuhnya.
Menteri Koordinator Maritim dan Investasi (Marves) Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan, Indonesia dapat memperoleh pendapatan dari penjualan karbon.
Sebab, karbon yang ditangkap dari teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon (CCS) nantinya bisa dijual di pasar karbon.
"Saat ini kita berupaya menuju masa depan net-zero. Mengacu pada Konsensus COP28 UEA, semua pihak berkomitmen untuk beralih dari bahan bakar fosil," ujar Menko Luhut, dikutip dari laman Kementerian ESDM, Senin (20/5/2024).
Baca juga: Hingga 30 April, Nilai Perdagangan Karbon Rp 35,31 Miliar
"Mempercepat pengurangan emisi NDC yang ambisius dan berskala ekonomi, dan mendorong tiga kali lipat energi terbarukan dan dua kali lipat efisiensi energi pada tahun 2030," imbuhnya.
Menurut Luhut, Indonesia punya potensi besar untuk memanfaatkan sumber daya alam secara berkelanjutan dan menghasilkan pendapatan dari penjualan karbon melalui mekanisme carbon pricing yang berstandar internasional.
Indonesia diberkati dengan sumber daya alam yang sangat besar yang dapat digunakan untuk mengatasi perubahan iklim.
"Berdasarkan beberapa penelitian, termasuk McKinsey tahun 2023, Indonesia memiliki potensi Nature Based Solutions (NBS) atau Ecological Based Approach (EBA) yang sangat besar dari upaya mitigasi hingga 1,5 GT CO2eq per tahun, sekitar Rp 112,5 triliun atau 7,1 miliar USD," tuturnya.
Sebelumnya, dikutip dari Kompas.com (12/11/2023), pemerintah telah meluncurkan Bursa Karbon Indonesia yang diresmikan langsung oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada 26 September.
Jokowi menyebutkan, potensi dana yang dapat diserap Indonesia dalam bursa karbon dunia bisa mencapai Rp 3.000 triliun atau Rp 3 kuadriliun.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya