KOMPAS.com - Laporan terbaru Oil Change International mengungkap niat Jepang melakukan kolonialisme karbon di Asia Tenggara via penjualan teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon (Carbon Capture and Storage/CCS) yang dinilai gagal.
Dalam laporan bertajuk “Funding Failure: Japan’s $5.2 Billion Carbon Capture Plan to Derail Asia’s Energy Transition”, lembaga itu mencatat, sejak 2014, Jepang telah menggelontorkan dana publik senilai 5,2 miliar dollar AS untuk mendanai proyek CCS di kawasan Asia Tenggara.
Menurut Oil Change International, strategi tersebut bisa disebut sebagai bentuk kolonialisme karbon karena pada akhirnya Jepang berencana membuang limbah karbon dari energi kotor yang masih diproduksinya ke negara-negara Asia Tenggara.
Meski telah dikembangkan selama 50 tahun, CCS secara global hanya mampu menangkap sekitar 0,1 persen emisi karbon. Panel Antarpemerintah untuk Perubahan Iklim (IPCC) bahkan menempatkannya sebagai langkah mitigasi iklim paling mahal dan tidak efektif.
“Jepang mengekspor strategi transisi energi gagal ke seluruh Asia, menguncinya dalam adiksi bahan bakar fosil selama beberapa dekade. Padahal kawasan ini layak bertransisi adil menuju energi terbarukan,” kata Makiko Arima, Juru Kampanye Oil Change International.
Data OII yang disusun bersama Friends of the Earth Japan menunjukkan bahwa subsidi publik Jepang mengalir ke raksasa energi yang diuntungkan dari eksploitasi bahan bakar fosil.
Baca juga: Carbon, Capture and Storage: Solusi Hijau Betulan atau Palsu?
Sejak meluncurkan Asia Zero Emission Community (AZEC) pada 2023, Jepang gencar mengampanyekan solusi iklim. Namun, dari 158 nota kesepahaman (MoU) yang ditandatangani AZEC hingga Oktober 2024, 35 persen justru terkait teknologi fosil, dan 23 di antaranya berupa proyek CCS.
Bahkan, dari sembilan proyek CCS prioritas yang ditetapkan Japan Organization for Metals and Energy Security (JOGMEC), empat proyek dirancang untuk mengirim CO? yang ditangkap di Jepang ke Malaysia dan Australia.
“Ini ketidakadilan lingkungan yang nyata. Kawasan kami yang paling sedikit berkontribusi terhadap krisis iklim justru dijadikan tempat pembuangan,” kata Menakshi Raaman, Presiden Sahabat Alam Malaysia, dalam keterangan yang diterima Kompas.com, Rabu (16/10/2025).
OII mendorong pemerintah Jepang untuk menghapus seluruh subsidi bagi proyek CCS dan mengalihkannya ke pengembangan energi terbarukan serta infrastruktur transisi yang adil, terutama di Asia Tenggara—kawasan yang masih memiliki 99 persen potensi tenaga surya dan angin yang belum dimanfaatkan.
“Kami menyerukan diakhirinya subsidi yang sia-sia dan berbahaya ini, serta investasi pada solusi yang benar-benar melindungi komunitas di kawasan,” ujar Ayumi Fukakusa, Direktur Eksekutif Friends of the Earth Japan.
Sementara itu, James Bowen, analis kebijakan iklim dari Climate Analytics, memperingatkan bahwa strategi CCS Jepang berisiko menambah emisi baru yang bisa menggagalkan target Perjanjian Paris.
OII menutup laporannya dengan menegaskan bahwa Asia Tenggara berhak atas masa depan energi yang adil dan bersih, bukan menjadi tempat pembuangan limbah karbon negara maju.
Baca juga: Atasi Emisi karena AI, Big Tech Andalkan Nuklir dan Carbon Capture
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya