KOMPAS.com - Para peneliti di Swiss telah menemukan cara untuk membuat produk coklat yang lebih sehat dan berkelanjutan, serta ramah lingkungan.
Jika biasanya hanya biji kakao dan ampas kakao yang diekstraksi untuk dijadikan coklat batangan sehat, para peneliti di institut teknologi federal ETH Zurich telah menemukan bahwa kulit buah kakao juga dapat digunakan sebagai pengganti gula pasir.
Produk baru ini memasukkan unsur endokarp atau lapisan dalam kulit buah, dan mencampurkannya dengan beberapa daging buah di sekitar biji untuk membuat jeli kakao yang manis.
Baca juga: Prioritaskan Riset, cmlabs Dorong Kerjasama dan Inovasi
“Ini berarti petani tidak hanya bisa menjual biji kopinya, tapi juga mengeringkan sari dari daging buah dan endokarpnya, menggilingnya menjadi bubuk dan menjualnya juga,” jelas penulis utama studi dalam jurnal Nature Food, Kim Mishra.
“Hal ini akan memungkinkan mereka memperoleh pendapatan dari tiga aliran penciptaan nilai. Dan penciptaan nilai lebih pada buah kakao membuatnya lebih berkelanjutan," papar dia, dilansir dari euronews.green, Jumat (24/5/2024).
Sebagai informasi, sebelum menemukan resep yang tepat, pihaknya melakukan banyak percobaan dari para peneliti di laboratorium, yang bekerja dengan perusahaan rintisan Koa dan produsen coklat Swiss Felchlin.
Misalnya, terlalu banyak sari buah dari ampas akan membuat coklat menggumpal, sedangkan terlalu sedikit akan menghasilkan rasa yang kurang manis.
Baca juga: Pemerintah Terus Kembangkan Inovasi Energi Hijau, Termasuk Hidrogen
Ia menyampaikan, produk baru ini mengandung hingga 20 persen gel kakao, dibandingkan dengan tingkat kemanisan coklat konvensional yang mengandung sekitar 5-10 persen gula tambahan. Adapun cokelat hitam biasa mengandung sekitar 40 persen gula bubuk.
Menurut para peneliti, coklat buah kakao yang baru ini lebih sehat karena memiliki kandungan serat lebih tinggi dan persentase lemak jenuh yang lebih rendah.
Produk coklat baru ini tidak hanya sehat, tetapi juga lebih ramah lingkungan. Sebab, produksi coklat skala besar dapat mengurangi penggunaan lahan dan pemanasan global.
“Penilaian siklus hidup dari awal hingga pengolahan pabrik menunjukkan bahwa produksi coklat dalam skala besar dapat mengurangi penggunaan lahan dan potensi pemanasan global, dibandingkan dengan rata-rata produksi coklat hitam di Eropa,” tulis para peneliti.
Perubahan penggunaan lahan akibat pertanian bertanggung jawab atas lebih dari 70 persen dampak lingkungan pada semua produk coklat.
Artinya, dengan menggunakan lebih sedikit biji kakao dan lebih sedikit lahan, produksi coklat di laboratorium dikaitkan dengan ‘dampak pertanian’ yang lebih minim.
Baca juga: 4 Kabupaten di Madura Didorong Ikut Wujudkan Swasembada Pangan
Memang coklat ini memerlukan lebih banyak proses dibandingkan rata-rata coklat batangan Eropa, dan pemanasan bubuk endokarp bertanggung jawab atas sebagian besar ‘dampak pabrik'. Namun secara keseluruhan, kreasi coklat buah kakao memiliki jejak karbon yang lebih ringan.
"Formulasi baru ini juga lebih ramah lingkungan karena menggunakan bagian dari buah kakao yang seharusnya terbuang sia-sia. Hanya cangkang yang tersisa, yang secara tradisional digunakan sebagai bahan bakar atau bahan pengomposan," terang peneliti.
Dengan memasukkan endokarp ke dalam ekosistem, petani skala kecil juga dapat mendiversifikasi produk yang mereka tawarkan dan meningkatkan pendapatan mereka.
Sayangnya, perjalanan masih panjang sebelum coklat yang lebih berkelanjutan ini tersedia di pasaran. Sebab, seluruh rantai penciptaan nilai perlu disesuaikan, mulai dari petani kakao hingga pabrik pengolahan.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya