Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Udin Suchaini
ASN di Badan Pusat Statistik

Praktisi Statistik Bidang Pembangunan Desa

Krisis Air dan Pulau Tanpa Sumber Air

Kompas.com - 26/05/2024, 07:30 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

KEGIATAN World Water Forum di Bali saat ini, bentuk penegasan bahwa ekologi kehidupan tidak bisa memisahkan antara manusia dan lingkungan, puncaknya masalah air sebagai penopang kehidupan.

Bahkan, laporan SDGs 2022, sekitar dua miliar orang di seluruh dunia tidak memiliki akses ke air minum yang aman saat ini.

Sementara, bagi negara berkembang, konsumsi air bersih erat kaitannya dengan kemiskinan dan memiliki efek jangka panjang pada kesejahteraan sekaligus pembangunan berkelanjutan.

Bagi Indonesia yang dua per tiga wilayahnya berupa perairan, tentu menjadi paradoks jika air bersih layak konsumsi menjadi persoalan.

Kualitas air berhubungan langsung dengan kualitas kesehatan hingga kesejahteraan masyarakat, bukan hanya soal memenuhi kebutuhan dasar.

Hasil kajian Hiwatari dkk (2024) memberi gambaran dampak lanjutan pada ekonomi mereka dan kesejahteraan ditransmisikan melalui tiga hal.

Pertama, konsumsi air yang tidak layak membuat seseorang mudah terserang penyakit. Dampaknya, kemampuan berkurang, produktivitas menurun.

Kedua, orang dewasa yang sehat bakal cuti untuk merawat anggota rumah tangga yang sakit. Ketiga, konsumsi air layak dengan membeli air bersih, meningkatkan beban rumah tangga.

Ketiganya berdampak langsung pada penurunan pendapatan rumah tangga. Padahal, anggaran tersebut dapat digunakan untuk kegiatan penting lainnya.

Sementara, permintaan air meningkat tajam, sejalan dengan pertumbuhan penduduk dan industri. Padahal, ketersediaan air yang berkualitas dan berkelanjutan semakin sulit karena degradasi lingkungan dan perubahan iklim.

Harapannya, World Water Forum pada 18-25 Mei 2024 di Bali, mampu membantu pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) terkait air, khususnya SDG 6. Memastikan akses yang adil dan terjangkau ke air minum yang aman untuk semua.

Bagi Indonesia sebagai negara kepulauan, penyediaan dan pengelolaan air layak pun bakal kompleks.

Pemerintah perlu berinovasi demi penyediaan air bersih pada lebih dari 16.000 pulau yang terdaftar di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), terhubung oleh berbagai selat dan laut. Sebagian populasi tinggal di pulau-pulau kecil tanpa sumber air tawar.

Kondisi air layak

Sayangnya, kualitas air di Indonesia cukup buruk. Sebagai catatan wari World Population Review, skor kualitas air minum dari Environmental Performance Index (EPI) tahun 2022 sebesar 24,9 dari skala 0-100.

Skor ini dihitung dari DALY rate, yaitu tahun hidup yang disesuaikan dengan cacat hilang per 100.000 orang dari air minum yang tidak aman.

Sebaran pencemaran air pun cukup massif. Menurut data Potensi Desa (Podes) 2021, pencemaran air terjadi di 10.683 desa/kelurahan atau mencapai 12,7 persen.

Parahnya, sumber pencemarannya sebagian besar adalah rumah tangga, mencapai 57,66 persen atau tersebar di 6.160 desa/kelurahan.

Sementara, pencemaran air yang bersumber dari industri atau usaha tersebar di 42,09 persen atau 4.496 desa/kelurahan.

Fakta ini mengungkap bahwa manusia sendirilah yang menjadi dalang atas turunnya kualitas air bersih, karena aktivitasnya mendominasi pencemaran air.

Pertumbuhan penduduk dan usaha meningkatkan permintaan air bersih, sekaligus peningkatan pembuangan air tidak layak konsumsi. Parahnya, sebagian besar usaha rumah tangga tidak memiliki sistem pengolahan air limbah.

Meski demikian, perkembangan rumah tangga yang menggunakan sumber air minum layak cukup progresif. Satu dasawarsa terakhir, penggunaan air bersih meningkat 23,79 persen poin dari 67,93 persen tahun 2013 menjadi 91,72 persen pada tahun 2023.

Meningkatkan kualitas hidup rumah tangga, perlu sosialisasi yang masif dan berkelanjutan, supaya dampak pencemaran air bisa diredam. Bila perlu penindakan berat bagi orang atau pelaku usaha yang melakukan pencemaran.

Sayangnya, penduduk yang tinggal di pulau kecil menggantungkan hidupnya dengan air hujan. Hasil statistik Potensi Desa (Podes) 2021, ada 3.280 desa/kelurahan menggunakan air hujan yang sebagian besar keluarga menggunakan mata air untuk minum.

Pulau kecil

Sebagai negara kepulauan, Indonesia memiliki tantangan penyediaan sumber air besih di pulau-pulau kecil tanpa ketersediaan sumber air tawar.

Sebagai informasi, selain tersebarnya pulau-pulau di Nusantara, pulau kecil pun dikelola dengan baik.

Setidaknya ada 111 pulau terluar yang dijaga dan dikelola sebagai garis pangkal batas wilayah negara Indonesia dengan negara lain, sesuai dengan Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun 2017 tentang Penetapan Pulau-Pulau Kecil Terluar.

Keterbatasannya, pulau kecil memiliki daerah tangkapan air yang lebih kecil dibandingkan dengan pulau besar. Hal ini berarti lebih sedikit air hujan yang dapat ditampung dan disimpan untuk digunakan.

Sementara itu, di beberapa pulau kecil, sumber air tanah tidak tersedia atau jumlahnya terbatas. Hal ini bisa disebabkan oleh faktor geologi pulau, seperti batuan yang tidak berpori atau intrusi air laut.

Sehingga, air hujan menjadi satu-satunya sumber air tawar. Hal ini membuat pulau-pulau tersebut rentan terhadap kekeringan, terutama di musim kemarau.

Dari sisi lingkungan, perubahan iklim dapat menyebabkan pola curah hujan menjadi lebih tidak menentu, dengan periode kekeringan yang lebih sering dan parah. Hal ini dapat memperburuk kesulitan air di pulau-pulau kecil.

Selain itu, kenaikan permukaan laut dapat meningkatkan intrusi air laut ke sumber air tawar di pulau kecil.

Akibat dari kesulitan air di pulau-pulau kecil, masyarakat pulau dapat mengalami berbagai masalah kesehatan, seperti diare, kolera, dan penyakit terkait air lainnya. Kesulitan air juga dapat menghambat pertumbuhan ekonomi dan sosial di pulau-pulau kecil.

Di pulau kecil, perlu inovasi teknologi berbasis rumah tangga atau komunitas, terutama tata kelola air hujan dan perluasan teknologi desalinasi untuk mengubah air laut menjadi air tawar.

Tanpa layanan untuk pengelolaan sanitasi yang baik, pembuangan limbah cair memiliki implikasi langsung pada kesehatan masyarakat yang cukup besar, parahnya berdampak buruk pada kesejahteraan jangka panjang.

Seperti yang disampaikan Cinta Laura sebagai duta pada kegiatan World Water Forum, “Tak perlu menjadi ahli untuk tahu betapa pentingnya air bersih buat kehidupan”.

Bagaimanapun juga, pencemaran yang telah kita mulai, maka kita juga yang harus mengakhiri, demi penerus kita di masa depan dengan kualitas air yang lebih baik.

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau