Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 01/06/2024, 19:00 WIB
Danur Lambang Pristiandaru

Penulis

KOMPAS.com - Perubahan iklim menyebabkan Bumi mengalami suhu panas ekstrem selama 12 bulan terakhir.

Sejak 15 Mei 2023 hingga 15 Mei 2024, tercatat ada 76 gelombang panas ekstrem yang melanda 90 negara.

Laporan tersebut mengemuka berdasarkan asesmen terbaru yang dilakukan Climate Central, Red Cross Red Crescent Climate Centre, dan World Weather Attribution (WWA).

Baca juga: Jakarta Wilayah Rentan Terdampak Perubahan Iklim

Diperkirakan 6,3 miliar orang atau sekitar 78 persen dari populasi Bumi mengalami setidaknya 31 hari suhu panas yang tidak lazim. 

Laporan tersebut mengklasifikasikan hari-hari dengan suhu panas ekstrem sebagai hari-hari ketika suhu melebihi 90 persen suhu harian yang tercatat di suatu tempat antara 1991 hingga 2020.

Dalam 12 bulan terakhir, perubahan iklim menambah rata-rata 26 hari cuaca panas ekstrem yang mungkin tidak akan terjadi.

Namun di beberapa negara, jumlah hari-hari panas berlebih jauh lebih tinggi, sebagaimana dilansir Earth.org, Jumat (31/5/2024).

Contoh negara yang mengalami suhu panas ekstrem adalah Suriname 158 hari, Ekuador 170 hari, El Salvador 148 hari, Guyana 141 hari, dan Panama 137 hari.

Menurut Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim atau IPCC, dengan semakin meluasnya pemanasan global, intensitas, frekuensi, dan durasi gelombang panas diperkirakan akan meningkat.

Baca juga: Sungai-sungai di Alaska Berubah Kecokelatan karena Perubahan Iklim

Kesehatan

Panas ekstrem juga berdampak pada kesehatan manusia terutama bagi kelompok rentan termasuk orang lanjut usia, wanita hamil, dan bayi.

Kelompok lain yang juga terdampak panas ekstrem adalah pekerja di luar ruangan dan atlet.

Asesmen pada April 2024 yang dilakukan Copernicus Climate Change Service (C3S) dan Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) menemukan, kematian akibat panas di Eropa telah meningkat sekitar 30 persen dalam 20 tahun terakhir.

Panas ekstrem juga membahayakan sumber daya air dan makanan serta mengancam ekosistem darat dan laut.

Kenaikan suhu laut yang tiada henti telah berdampak buruk pada terumbu karang di seluruh dunia, menyebabkan pemutihan massal keempat dalam sejarah.

Padahal, terumbu karang mendukung setidaknya 25 persen spesies laut serta menjadi bagian integral dalam melestarikan jaringan keanekaragaman hayati laut yang luas dan saling berhubungan.

Baca juga: Perubahan Iklim Bikin Perekonomian Dunia Lebih Buruk Dibandingkan Perkiraan Sebelumnya

Sejauh ini, suhu Bumi meningkat sebesar 1,2 derajat celsius dibandingkan masa pra-industri.

Menurut IPCC, setiap kenaikan suhu Bumi 0,5 serajat celsius akan menyebabkan peningkatan dalam frekuensi dan tingkat keparahan panas ekstrem, curah hujan tinggi, dan kekeringan regional.

Penyebab utama perubahan iklim adalah meningkatnya emisi gas rumah kaca (GRK) yang diakibatkan oleh pembakaran energi fosil seperti batu bara, minyak, dan gas bumi.

Konsumsi energi fosil global meningkat lebih dari dua kali lipat dalam 50 tahun terakhir, seiring dengan upaya negara-negara di seluruh dunia untuk meningkatkan standar hidup dan output ekonomi mereka.

Pada 2023, ketiga gas rumah kaca (GRK) yang paling kuat yakni karbon dioksida, metana, dan dinitrogen oksida mencapai rekor tertinggi.

Baca juga: Cara Wujudkan Ketahanan Pangan di Tengah Perubahan Iklim

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau