Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 03/06/2024, 15:49 WIB
Faqihah Muharroroh Itsnaini,
Hilda B Alexander

Tim Redaksi

 JAKARTA, KOMPAS.com - Suku Awyu dan Moi dari Papua meminta Mahkamah Agung agar menjatuhkan putusan hukum dan membatalkan izin perusahaan sawit, yang mengambil hutan tempat tinggal masyarakat adat mereka. 

Seruan ini disampaikan perwakilan suku Awyu dan Moi saat menggelar aksi damai, diiringi solidaritas mahasiswa Papua dan organisasi masyarakat sipil di depan Gedung Mahkamah Agung (MA), Jakarta Pusat, Senin (27/5/2024).

Mengenakan busana khas suku masing-masing, mereka menggelar doa dan ritual adat di depan kantor lembaga peradilan tertinggi itu. 

"Kami datang dari Tanah Papua ke ibu kota Jakarta untuk meminta Mahkamah Agung memulihkan hak-hak kami yang dirampas dengan membatalkan izin perusahaan sawit yang kini tengah kami lawan,” ujar perwakilan dari suku Awyu, Hendrikus 'Franky' Woro.

Baca juga: Akses Air Minum Layak di Papua Terendah se-Indonesia

Masyarakat Awyu di Boven Digoel, Papua Selatan dan Moi di Sorong, Papua Barat Daya, menggugat pemerintah dan perusahaan sawit demi mempertahankan hutan adat mereka.

Perjuangan masyarakat adat Papua ini telah dilakukan sejak 2023. Setelah bolak-balik ke pengadilan, gugatan keduanya saat ini sampai tahap kasasi di MA.

"Undang-undang Dasar 1945 dan semua prosedur undang-undang itu sudah ada. Yang pertama, kami hanya minta penghormatan, pemenuhan, dan perlindungan kepada kami masyarakat kecil," seru Hendrikus. 

Masyarakat adat suku Awyu dan suku Moi, serta sejumlah aktivis menggelar aksi damai di depan Mahmakah Agung, Jakarta, pada Senin (27/5/2024), berharap Mahkamah Agung menjatuhkan putusan hukum yang melindungi hutan adat mereka.KOMPAS.com/FAQIHAH MUHARROROH ITSNAINI Masyarakat adat suku Awyu dan suku Moi, serta sejumlah aktivis menggelar aksi damai di depan Mahmakah Agung, Jakarta, pada Senin (27/5/2024), berharap Mahkamah Agung menjatuhkan putusan hukum yang melindungi hutan adat mereka.

Berjuang atas hak hidup dan lingkungan

Hendrikus menggugat Pemerintah Provinsi Papua karena mengeluarkan izin kelayakan lingkungan hidup untuk PT Indo Asiana Lestari (IAL) dengan konsesi lingkungan seluas 36.094 hektar, atau lebih dari setengah luas DKI Jakarta. 

Izin tersebut berada di hutan adat marga Woro-woro, bagian dari suku Awyu. Namun, gugatan Hendrikus kandas di pengadilan tingkat pertama dan kedua.

Baca juga: Angka Kematian Bayi di Papua Tertinggi se-Indonesia

Oleh karena itu, ia mengajukan permohonan kasasi kepada MA terkait perkara tersebut. Melalui aksi damai ini, ia berharap MA dapat mengabulkan kasasi tersebut sehingga hutan yang diwariskan turun-temurun tetap terjaga.

Pasalnya, kehadiran hutan dan tanah adat telah dijadikan sebagai pusat penghidupan bagi mayoritas masyarakat adat di Papua. Mereka berburu, berkebun, membangun rumah, mengolah pangan, hingga menghasilkan obat-obatan di sana. 

"Saya ingin hidup aman dan damai. Kami berjuang tentang harkat dan martabat manusia, jati diri. Kami mau hidup di hutan aman, cari makan bebas, tidak mau konflik. Coba lihat di lapangan, apa yang saya perjuangkan ini kebenaran," papar Hendrikus.

Tak hanya bagi masyarakat adat Papua, alih fungsi hutan menjadi perkebunan sawit akan menghilangkan daya dukung lingkungan alam.

Masyarakat adat suku Awyu dan suku Moi, serta sejumlah aktivis menggelar aksi damai di depan Mahmakah Agung, Jakarta, pada Senin (27/5/2024), berharap Mahkamah Agung menjatuhkan putusan hukum yang melindungi hutan adat mereka.KOMPAS.com/FAQIHAH MUHARRORROH ITSNAINI Masyarakat adat suku Awyu dan suku Moi, serta sejumlah aktivis menggelar aksi damai di depan Mahmakah Agung, Jakarta, pada Senin (27/5/2024), berharap Mahkamah Agung menjatuhkan putusan hukum yang melindungi hutan adat mereka.
Selain kasasi perkara PT IAL, sejumlah masyarakat adat Awyu juga mengajukan kasasi atas gugatan PT Kartika Cipta Pratama dan PT Megakarya Jaya Raya, dua perusahaan sawit yang juga sudah dan akan berekspansi di Boven Digoel.

PT KCP dan PT MJR, yang sebelumnya kalah di PTUN Jakarta, mengajukan banding dan dimenangkan oleh hakim Pengadilan Tinggi TUN Jakarta.

“Kami sudah cukup lama tersiksa dengan adanya rencana sawit di wilayah adat kami. Kami ingin membesarkan anak-anak kami melalui hasil alam. Sawit akan merusak hutan kami, kami menolaknya,” kata perwakilan perempuan adat Awyu, Rikarda Maa. 

Sementara itu, sub suku Moi Sigin saat ini tengah melawan PT Sorong Agro Sawitindo (SAS) yang akan membabat 18.160 hektar hutan adat untuk perkebunan sawit. PT SAS sebelumnya memegang konsesi seluas 40.000 hektar di Kabupaten Sorong.

Pada 2022, pemerintah pusat mencabut izin pelepasan kawasan hutan PT SAS, disusul dengan pencabutan izin usaha. Tak terima dengan keputusan itu, PT SAS menggugat pemerintah ke PTUN Jakarta.


Pejuang lingkungan hidup dari suku Awyu, Hendrikus Woro, usai menyerahkan surat kepada Mahkamah Agung di Jakarta Pusat, Senin (27/5/2024). KOMPAS.com/FAQIHAH MUHARROROH ITSNAINI Pejuang lingkungan hidup dari suku Awyu, Hendrikus Woro, usai menyerahkan surat kepada Mahkamah Agung di Jakarta Pusat, Senin (27/5/2024).
Perwakilan masyarakat adat Moi Sigin kemudian melawan dengan mengajukan diri sebagai tergugat intervensi di PTUN Jakarta pada Desember 2023. Setelah hakim menolak gugatan itu awal Januari lalu, masyarakat kembali mengajukan kasasi ke MA pada 3 Mei 2024.

“Saya mendesak Mahkamah Agung memberikan keadilan hukum bagi kami masyarakat adat. Hutan adat adalah tempat kami berburu dan meramu sagu, hutan adalah apotek bagi kami, kebutuhan kami semua ada di hutan," ujar perwakilan masyarakat adat Moi Sigin yang menjadi tergugat intervensi, Fiktor Klafiu.

"Kalau hutan adat kami hilang, mau ke mana lagi kami pergi?” imbuhnya.

Baca juga:

Demi masyarakat Indonesia

Pembatalan izin perusahaan sawit ini tidak hanya dapat memulihkan hak-hak masyarakat adat yang telah dirampas, tetapi juga bisa menyelamatkan Indonesia. 

Seba, perusahaan-perusahaan sawit tidak hanya merusak hutan yang menjadi sumber penghidupan, pangan, air, obat-obatan, budaya, dan pengetahuan suku Awyu dan Moi.

Hutan tersebut juga habitat bagi flora dan fauna endemik Papua, serta penyimpan cadangan karbon dalam jumlah besar. Alih fungsi lahan di Papua dapat memicu deforestasi yang akan melepas 25 juta ton setara karbon dioksida dan memperparah dampak krisis iklim.

Masyarakat adat suku Awyu dan suku Moi, serta sejumlah aktivis menggelar aksi damai di depan Mahmakah Agung, Jakarta, pada Senin (27/5/2024), berharap Mahkamah Agung menjatuhkan putusan hukum yang melindungi hutan adat mereka.KOMPAS.com/FAQIHAH MUHARROROH ITSNAINI Masyarakat adat suku Awyu dan suku Moi, serta sejumlah aktivis menggelar aksi damai di depan Mahmakah Agung, Jakarta, pada Senin (27/5/2024), berharap Mahkamah Agung menjatuhkan putusan hukum yang melindungi hutan adat mereka.
Anggota tim kuasa hukum suku Awyu dan Moi dari Pusaka Bentala Rakyat, Tigor Hutapea mengatakan, pihaknya meminta MA untuk cermat memeriksa perkara gugatan suku Awyu dan Moi.

Tigor menyampaikan, MA perlu melihat kepentingan pelindungan lingkungan dan hak-hak masyarakat adat serta mengeluarkan putusan kemenangan untuk suku Awyu dan Moi.

”Majelis hakim perlu mengedepankan aspek keadilan lingkungan dan iklim, yang dampaknya bukan hanya akan dirasakan suku Awyu dan suku Moi, tetapi juga masyarakat Indonesia lainnya,” tuturnya.

Baca juga: Dari Hutan Desa Pertama Papua, Anak Muda Adat Serukan Penyelamatan Hutan

Tak hanya kali ini, Tigor menyampaikan, suku Awyu dan Moi telah melewati proses yang rumit demi mempertahankan hutan adat mereka.

Oleh karena itu, Koalisi Selamatkan Hutan Adat Papua mengajak publik untuk terus menyuarakan dukungan terhadap perjuangan suku Awyu dan Moi.

“Perjuangan suku Awyu dan Moi adalah upaya terhormat demi hutan adat, demi hidup anak-cucu mereka hari ini dan masa depan, dan secara tidak langsung kita semua,” kata juru kampanye hutan Greenpeace Indonesia, Sekar Banjaran Aji.

Kami mengundang perusahaan yang memiliki program keberlanjutan dan menginspirasi publik untuk mendukung akselerasi pencapaian SDGs di Indonesia. Kunjungi Lestari Awards 2024

 

 

 

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Cegah Kerusakan Laut, Penggunaan Plastik Harus Dikurangi hingga 25 Persen

Cegah Kerusakan Laut, Penggunaan Plastik Harus Dikurangi hingga 25 Persen

Pemerintah
Polusi Ozon Berpotensi Kurangi Pertumbuhan Hutan Tropis

Polusi Ozon Berpotensi Kurangi Pertumbuhan Hutan Tropis

LSM/Figur
Aeon Environmental Foundation Lanjutkan Misi Hijau, Tanam Ribuan Mangrove di PIK Jakarta

Aeon Environmental Foundation Lanjutkan Misi Hijau, Tanam Ribuan Mangrove di PIK Jakarta

Swasta
Pemerintah Perlu Dorong Bahan Lokal untuk Ketahanan Pangan

Pemerintah Perlu Dorong Bahan Lokal untuk Ketahanan Pangan

Pemerintah
Komitmen Implementasikan ESG, The Sanur Terima Asian Impact Awards 2024

Komitmen Implementasikan ESG, The Sanur Terima Asian Impact Awards 2024

Swasta
Peneliti Kembangkan Metode Daur Ulang Logam Limbah Elektronik

Peneliti Kembangkan Metode Daur Ulang Logam Limbah Elektronik

Pemerintah
Integrasi AI ke Sektor Pertanian Diproyeksikan Bisa Bantu Ketahanan Pangan

Integrasi AI ke Sektor Pertanian Diproyeksikan Bisa Bantu Ketahanan Pangan

Pemerintah
Pakar Kelautan Definisikan Ulang Konsep Penangkapan Ikan Berkelanjutan

Pakar Kelautan Definisikan Ulang Konsep Penangkapan Ikan Berkelanjutan

Pemerintah
IESR: Kapasitas PLTU Perlu Dikurangi 2-3 GW per Tahun hingga 2045

IESR: Kapasitas PLTU Perlu Dikurangi 2-3 GW per Tahun hingga 2045

LSM/Figur
Agincourt Resources Sabet Penghargaan Kaidah Pertambangan yang Baik

Agincourt Resources Sabet Penghargaan Kaidah Pertambangan yang Baik

Swasta
Menilik Tantangan, Peluang, dan Masa Depan Ketahanan Air Berkelanjutan di Tanah Air

Menilik Tantangan, Peluang, dan Masa Depan Ketahanan Air Berkelanjutan di Tanah Air

Swasta
Pemerintah Target Tambah Kapasitas Terpasang PLTB 5 GW hingga 2030

Pemerintah Target Tambah Kapasitas Terpasang PLTB 5 GW hingga 2030

Pemerintah
Riset: Mengurangi Kecepatan Pesawat Bisa Turunkan Emisi Karbon

Riset: Mengurangi Kecepatan Pesawat Bisa Turunkan Emisi Karbon

Swasta
Asa dari Lahan Bekas Tambang di Kabupaten Kutai Kartanegara

Asa dari Lahan Bekas Tambang di Kabupaten Kutai Kartanegara

Swasta
PT GNI Upayakan Perbaikan Gizi dan Kesehatan Warga Lingkar Industri

PT GNI Upayakan Perbaikan Gizi dan Kesehatan Warga Lingkar Industri

Pemerintah
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Selamat, Kamu Pembaca Terpilih!
Nikmati gratis akses Kompas.com+ selama 3 hari.

Mengapa bergabung dengan membership Kompas.com+?

  • Baca semua berita tanpa iklan
  • Baca artikel tanpa pindah halaman
  • Akses lebih cepat
  • Akses membership dari berbagai platform
Pilihan Tepat!
Kami siap antarkan berita premium, teraktual tanpa iklan.
Masuk untuk aktivasi
atau
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau