JAKARTA, KOMPAS.com - Yayasan Wahana Visi Indonesia (WVI) mengungkapkan, secara umum, pulau Papua merupakan wilayah dengan angka literasi paling rendah se-Indonesia.
Hal ini sebagaimana dikatakan Education Manager WVI Marthen S. Sambo bahwa literasi masih menjadi isu utama bagi anak-anak di area terjauh dan tertinggal di pulau Papua, yaitu Asmat dan Wamena.
“Kendala utamanya ada di akses dan keterbatasan guru menguasai literasi. Masih ada guru belum lancar membaca dan belum mampu mengajarkan literasi secara komprehensif," ujar Marthen, usai konferensi pers di Jakarta, Kamis (16/5/2024).
Baca juga: Indonesia-Jerman Kerja Sama Pendidikan dan Pelatihan Vokasi Industri
Selain itu, dampak dari keterbatasan akses adalah minimnya fasilitas pendukung. Sebagai contoh, untuk mengirimkan 1 kg buku saja dapat dikenakan harga hingga ratusan ribu.
"Fasilitas pendukung juga sangat minim, seperti buku cerita, bahan ajar kontekstual, dan tempat mengajar kurang kondusif," imbuhnya.
Sebagai gambaran, pada 2023, WVI mengumpulkan data di Jayapura, Biak, dan Jayawijaya. Dari 2.119 murid kelas 3 di 171 sekolah dasar (SD), baru 58 persen siswa membaca dengan pemahaman, 12 persen pembaca pemula, dan 30 persen bukan pembaca atau belum bisa membaca.
Data tersebut tidak jauh berbeda dengan data yang didapatkan dari Asmat dan Wamena.
Lletak geografis beberapa wilayah di Papua yang memang sulit dijangkau, menyebabkan keterlambatan beberapa daerah tersebut dalam menerima bantuan maupun informasi dari pusat. Termasuk dari hal literasi dasar.
Marthen menambahkan, budaya tutur di masyarakat Papua pada umumnya telah turun-temurun, sehingga menjadi lebih kuat dibanding budaya membaca atau tulis.
Rata-rata siswa kelas 3 SD di Papua baru bisa membaca 31 kata per menit, di mana seharusnya 60-80 kata per menit.
Baca juga: Semakin Tinggi Pendidikan Orangtua, Kian Baik Kualitas Pengasuhan Anak
"Di sana rata-rata 31 kata per menit, artinya kan dalam satu kurang lebih 2-3 detik baru bisa tau. Salah satunya karena pengaruh tidak sering melihat tulisan, baik di sekolah dan rumah, kebanyakan memang hanya dengar," tambah Marthen.
Tidak ada anak yang lancar membaca jika tidak sering bertemu tulisan. Semakin terbiasa membaca teks, seorang anak akan semakin cepat mengenali dan memahami tulisan.
Adapun dari lima area program WVI di Papua, anak-anak di Asmat memiliki keterampilan ‘membaca dengan pemahaman’ terendah, yakni hanya sekitar 11 persen. Di Asmat, rata-rata siswa kelas 3 SD hanya bisa membaca lima kata per menit.
"Sedangkan isu di Wamena lebih kepada kegiatan belajar mengajar di sekolah yang sering ditiadakan karena konflik sosial. Mereka bisa libur sekolah hampir dua minggu saat ada konflik," terangnya.
Baca juga: Pahamkan Anak Isu Keberlanjutan dengan Kurikulum Pendidikan Lingkungan
Oleh karena itu, pihaknya ingin membantu meningkatkan kemampuan literasi anak-anak di Papua, khususnya Asmat dan Wamena, dengan meluncurkan kampanye Run for The East (R4TE) yang berlangsung sejak Mei hingga September 2024
"Pemahaman literasi yang baik adalah pondasi penting dalam pendidikan. Pendidikan yang baik dan layak adalah kunci untuk masa depan yang lebih berkualitas bagi anak-anak dan masyarakat Papua," pungkas Marthen.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya