POSO, KOMPAS.com - "Beliau adalah salah satu inspirasi saya," kata Yulla Martha Yanti Tombo (51), Minggu (2/6/2024) sambil menunjuk dua potret Bunda Teresa mengendong bayi di dinding belakang meja kerjanya.
Di meja itulah, bidan desa itu saban hari melayani pemeriksaan pasien terutama ibu hamil di Desa Rompo, Kecamatan Lore Tengah, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah.
Bila menempuh perjalanan darat, dibutuhkan waktu sekitar enam jam untuk mencapai Palu, Ibu Kota Sulawesi Tengah, melintasi medan yang tidak mudah pula.
Baca juga: Petani Difabel di Poso Berdaya Lewat Program Inklusi dan Berkelanjutan
Selain menjadi bidan desa, Yulla secara sukarela mendampingi dan memberdayakan para penyandang disabilitas atau difabel di desa yang berdekatan dengan Taman Nasional Lore Lindu tersebut.
Kehidupan difabel di sana tidaklah mudah. Selain diliputi kemelaratan dan keterbatasan lainnya, mereka juga berhadapan dengan risiko kesehatan yang sering luput dari perhatian.
Hati Yulla terketuk. Orang-orang dengan berbagai macam kebutuhan khusus di desa tersebut membutuhkan perhatian lebih.
Dia lantas tergerak untuk memberikan pelayanan kepada mereka sebisanya. Pada 2008, dengan tangannya sendiri, Yulla membidani pos pelayanan terpadu (posyandu) khusus difabel di Desa Rompo. Barangkali, itu adalah posyandu khusus difabel pertama di Kabupaten Poso.
"Saya datang ke sini tahun 2007. Saya punya pemikiran kenapa orang-orang umum saja yang saya layani. Kenapa tidak dengan orang-orang seperti ini. Mereka punya masalah-masalah kesehatan yang hampir sama dengan masyarakat lainnya," kata Yulla di Pos Kesehatan Desa (Poskesdes) Rompo.
Posyandu tersebut diberi nama Pasien Istimewa (Pastiwa), sesuai namanya untuk melayani pemeriksaan kesehatan bagi orang-orang istimewa di desa tersebut. Layanan ini rutin dilakukan setiap sebulan sekali.
Baca juga: DBS Indonesia Luncurkan Program Bina Mahasiswa dengan Disabilitas
Di poyandu khusus difabel tersebut, para penyandang disabilitas diberi layanan kesehatan sesuai kebutuhan khususnya atau melayangkan rujukan lebih ke jenjang fasilitas kesehatan yang lebih tinggi.
Tugas tambahan tersebut dilakukan Yulla dengan senang hati, di samping melakukan pelayanan kesehatan reguler setiap harinya dan program-program lain seperti posyandu balita, lansia, remaja, dan lainnya.
Posyandu difabel tersebut masih berlanjut sampai sekarang. Kini, jumlah anggota difabel di layanan kesehatan yang konsisten dijalankan Yulla tersebut mencapai 26 orang di Desa Rompo.
Tak jarang, Yulla merogoh kocek pribadi untuk memberikan pelayanan bagi orang-orang istimewa tersebut. Pahit, getir, haru, sedih, semua sudah kenyang Yulla rasakan selama mendampingi dan melayani para difabel di desa tersebut.
Pengalaman membawa penyandang disabilitas dari sana ke Palu pun sering dia lakukan untuk mendapat rujukan dan pelayanan yang lebih baik.
Penolakan hingga apresiasi tak jarang diterima Yulla selama menjalankan kiprahnya, namun dia maju terus. "Apa yang ada pada saya, apa yang saya punya, itu yang saya berikan," tutur Yulla.
Baca juga: PP Muhammadiyah Dorong Ekosistem Inklusif untuk Penyandang Disabilitas
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya