KOMPAS.com - Akademisi Universitas Gadjah Mada (UGM) Abdul Gaffar Karim menilai, izin usaha pertambangan yang diterima dan digarap oleh ormas atau organisasi keagamaan menjadi sebuah ironi.
Pasalnya, bila menjadi bagian dari industri ekstraktif tersebut, maka organisasi non pemerintah tidak berada dalam posisi yang melakukan kontrol dan pengawasan terhadap negara atau korporasi pengelola tambang.
Abdul mengatakan, selama ini penerima dan penggarap konsesi pertambangan terbagi menjadi enam kelompok.
Baca juga: Anggota DPR Kritk Izin Tambang Ormas: Pemerintah Sembarangan Urus Sumber Daya
Pertama, perusahaan tambang besar multinasional. Kedua, organisasi tambang nasional. Ketiga, badan usaha milik negara (BUMN).
Keempat, penambang mikro. Kelima, komunitas lokal. Keenam, kemitraan beberapa aktor tersebut.
"Sangat tidak lazim ormas menerima konsesi tambang," kata Abdul dalam webinar bertajuk Gambar Jagad Dilingkari Tambang yang digelar Alumni PMII Komisariat UGM yang dipantau secara daring, Jumat (7/6/2024).
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2024 tentang Perubahan atas PP Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara.
Regulasi yang diteken pada 30 Mei 2023 tersebut memuat aturan baru yang memberikan izin kepada ormas dan organisasi keagamaan untuk mengelola pertambangan.
Baca juga: Wahi: Izin Tambang Ormas Bakal Jadi Bancakan Pemain Lama
Aturan itu tertuang pada Pasal 83A yang membahas Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK) secara prioritas.
Pada Pasal 83A Ayat (1) dijelaskan, dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat, WIUPK dapat dilakukan penawaran secara prioritas kepada badan usaha yang dimiliki oleh ormas dan organisasi keagamaan.
Kemudian WIUPK sebagaimana dimaksud pada ayat 1 merupakan wilayah eks Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B).
Adapun IUPK dan atau kepemilikan saham organisasi kemasyarakatan keagamaan pada badan usaha tidak dapat dipindahtangankan dan atau dialihkan tanpa persetujuan menteri.
Disebutkan bahwa kepemilikan saham ormas maupun organisasi keagamaan dalam badan usaha harus mayoritas dan menjadi pengendali.
Baca juga: 6 Pulau Kecil di Maluku Utara Jadi Konsesi Tambang Nikel
Ahmad menyampaikan, organisasi keagamaan yang terlibat dalam penggarapan industri ekstraktif menjadi bahaya serius bagi sistem demokrasi.
Sebab, kalaupun ada organisasi yang terjun dalam konsesi tambang, mereka biasanya terlibat dalam pengawalan proses konservasi dan advokasi dengan tujuan melindungi sumber daya alam.
Ahmad mencontohkan beberapa organisasi yang mengawal pertambangan seperti Alliance for Responsible Mining, World Wildlife Fund, dan lain sebagainya.
"Keterlibatan mereka justru untuk mengawal agar proses tambang lebih akuntabel, bukan memperoleh keuntungan dari proses tambang," tutur Ahmad.
Selain itu, keterlibatan mereka justru untuk mengawal banyak proses untuk keberlanjutan lingkungan, bukan untuk mengambil, mengolah, dan mengeruk keuntungan dari tambang.
Semangat utama organisasi untuk mengawal pertambangan semestinya fokus untuk menjaga lingkungan, bukan semata-mata keuntungan.
Baca juga: Emisi Metana Tambang Batu Bara RI Lebih Tinggi daripada Karhutla
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya