Dimensi kedua oligarki punya dasar kekuasaan dan kekayaan material yang sangat sulit untuk diseimbangkan dan dipecah.
Kedua dimensi oligarki menurut Jeffrey A Winters itu ada pada pendukung energi fosil, termasuk batu bara, di Indonesia.
Para oligarki batu bara tentu tidak ingin bisnis energi kotornya berakhir terlalu cepat, meskipun cepat atau lambat akan hilang.
Oligarki batu bara ingin PBNU dan ormas keagamaan lainnya bisa melawan takdir hilangnya bisnis batu bara di masa depan ini.
Berbagai narasi sudah mereka coba keluarkan, termasuk narasi nasionalisme kanan. Namun, itu tidak cukup efektif menghentikan laju perlawanan publik terhadap energi kotor batu bara ini.
Sulit untuk tidak menduga, kali ini oligarki batu bara akan menggunakan narasi agama untuk membela industri kotor batu bara ini. Apalagi warga Indonesia terkenal sebagai orang-orang religius.
Munculnya Peraturan Pemerintah (PP) Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2024 pada akhir Mei lalu yang merevisi PP Nomor 96 Tahun 2021 Tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara, harus dibaca dalam konteks menarik PBNU dalam pelukan oligarki batu bara.
Mereka ingin PBNU berada dalam satu barisan dengan oligarki, bukan dengan rakyat yang menyuarakan kelestarian dan keadilan lingkungan hidup.
Bagi kaum oligarki, akan berbahaya bila NU, sebagai ormas Islam terbesar di Indonesia berada dalam satu barisan dengan mayoritas rakyat yang menginginkan kelestarian dan keadilan lingkungan.
Gejala bahwa NU akan berada di barisan mayoritas rakyat itu sudah pernah muncul di tahun-tahun sebelumnya.
Pada 2015, PBNU pernah memfasilitasi para kiai untuk menyikapi eksploitasi sumber daya alam yang merusak alam oleh negara maupun swasta.
Hasilnya, PBNU mengharamkan eksploitasi sumber daya alam yang merusak. Batu bara jelas masuk dalam kategori ekploitasi sumber daya alam yang merusak itu.
Daya rusak batu bara bukan hanya terjadi saat dilakukan pembakaran yang menyebabkan emisi GRK. Sejak dalam proses penambangan, batu bara telah memiliki daya rusak yang mematikan.
Hal itu disebabkan tambang batu bara memiliki karakteristik mengubah bentang alam. Akibatnya, tambang batu bara akan menyebabkan penurunan kesuburan tanah, kualitas air, kualitas udara, terjadinya ancaman terhadap keanekaragaman hayati dan pencemaran lingkungan lainnya di sekitar area tambang.
Daya rusak tambang batu bara tidak hanya berhenti sampai di situ. Pascaoperasi, tambang ini menyisakan lubang.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya