Di Kalimantan Timur, menurut data dari Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Kalimantan Timur di tahun 2021 terdapat sebanyak 1.735 lubang bekas tambang. Lubang tambang itu telah menelan puluhan korban jiwa yang didominasi anak-anak.
Bagi kaum oligarki batu bara, keberpihakan NU terhadap rakyat yang ingin kelestarian dan keadilan lingkungan harus dihentikan. Para oligarki batu bara tentu tidak ingin PBNU dekat atau satu barisan dengan masyarakat yang mulai menyadari arti penting kelestarian lingkungan hidup.
Jika ada elite politik di negeri ini yang mengatakan tujuan pemberian konsesi ijin tambang batu bara itu adalah mensejahterakan rakyat dan nasionalisme, maka dapat dipastikan mereka sedang berbohong.
Jika alasannya adalah kesejahteraan umat, kenapa pemerintah tidak memfasilitasi PBNU mengelola energi terbarukan di seluruh masjid dan pesanterennya?
Hasil penelitian Celios dan 350.org Indonesia yang berjudul "Dampak Ekonomi dan Peluang Pembiayaan Energi Terbarukan Berbasis Komunitas" menunjukkan bahwa energi terbarukan berbasis komunitas mampu menciptakan kontribusi terhadap PDB (Produk Domestik Bruto) sebesar Rp 10.529 triliun selama 25 tahun.
Penelitian itu juga mengungkapkan bahwa energi terbarukan berbasis komunitas juga mampu menurunkan angka kemiskinan hingga lebih dari 16 juta orang.
Bukan hanya itu, dari sisi ketenagakerjaan, energi terbarukan berbasis komunitas juga membuka peluang kerja sebesar 96 juta orang.
Sekarang bola panas ada di elite PBNU. Apakah mereka akan mendengarkan suara rakyat, yang ingin kelestarian dan keadilan lingkungan hidup atau justru lebih mendengarkan bisik-bisik oligarki, yang ingin menyeret ormas Islam terbesar di Indonesia itu, menjadi bagian dari pihak-pihak yang membuat kerusakan di muka bumi?
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya