Berdasarkan hasil riset dan investigasi yang telah dilakukan oleh FWI bersama jaringan CSO di daerah, ditemukan tiga jalur obral izin kawasan hutan Indonesia.
Pertama, pelepasan kawasan hutan; kedua, arahan pemanfaatan hutan; dan ketiga, aktivasi ex hak pengusahaan hutan (HPH).
Dari Pelepasan Kawasan Hutan, komoditas terbesar untuk pelepasan kawasan hutan di 2021, adalah perkebunan kelapa sawit dengan luasan sekitar 5,5 juta hektar. Sisanya yaitu untuk coklat dan tebu.
Baca juga: Konsorsium Keberlanjutan Pertama di Asia Dorong Kolaborasi ESG
Total pelepasan kawasan hutan di 2021 mencapai 5,9 juta hektar, dengan provinsi terbesar pelepasannya ada di Provinsi Kalimantan Tengah seluas 1,16 juta hektar dan Provinsi Riau 1,14 juta hektar.
FWI juga menemukan total luas arahan pemanfaatan hutan produksi 2021 untuk izin baru sebesar 13,5 juta hektar, dengan provinsi terbesar yaitu Provinsi Riau 1,8 juta hektar dan Provinsi Papua Selatan 1,16 juta hektar.
Dari Aktivasi Ex HPH yang bakal menjadi target penerbitan izin baru, dapat ditemukan di Regional Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Papua dengan total areal Ex HPH seluas 35,8 juta hektar.
“Obral izin di tengah masa transisi pemerintah daerah harus diwaspadai sebagai upaya penguasaan hutan dan lahan Indonesia yang dapat menghilangkan eksistensi masyarakat-masyarakat adat. Dan ke depan, izin-izin ini akan menjadi driver deforestasi,” tuturnya.
Perlu pengelolaan pilkada
Sementara itu, Koordinator Komunitas Pemilu Bersih Jeirry Sumampow menyebut pentingnya pemerintah, khususnya penyelenggara pemilu untuk menekan mahalnya biaya kampanye yang harus dikeluarkan oleh para kandidat.
“Negara harus mengambil-alih tanggung jawab ini,” ujar Jeirry.
Tujuannya, agar para kandidat tidak mencari sumber dana yang ilegal untuk mencukupi biaya gerakannya dalam Pilkada, sekaligus akan membuat para kandidat bertarung dalam ide-ide pragmatis pembangunan untuk memenangkan suara pemilih.
Baca juga: Berbagai Strategi Konsorsium AEPIC Bumikan Keberlanjutan di Asia
Penting untuk segera melakukan revisi UU Kepemiluan. Selain itu, penyelenggara pemilu seperti KPU dan Bawaslu harus berani membuat aturan dan memberikan punishment yang tegas kepada para kandidat yang melanggar.
“Tidak lagi menjadikan jabatan komisioner mereka sebagai ajang transaksional dengan para kandidat,” tambah Jeirry.
Senada, Ketua Lembaga Studi Visi Nusantara Maju Yusfitriadi menekankan pentingnya tata kelola kepemiluan yang transparan dan akuntabel.
“Indikasi praktek ijon yang dilakukan oleh para penyelenggara pemilu kepada kandidat dan gerbong pendukungnya juga menjadi ajang tidak netralnya proses pemilihan umum yang diadakan,” terang Jeirry.
Adanya like and dislike, serta ketidaknetralan dalam setiap pengambilan keputusan penyelenggara pemilu, menjadikan demokrasi cacat dan hanya menghasilkan pemimpin-pemimpin korup yang akan merusak bangsa.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya