JAKARTA, KOMPAS.com - Perwakilan masyarakat adat Suku Awyu dan Suku Moi Sigin dari Papua, kembali menggelar aksi damai di depan Gedung Mahkamah Agung (MA), Jakarta, pada Senin (22/7/2024).
Sejumlah perwakilan organisasi dan masyarakat sipil ikut hadir menyampaikan dukungan. Dalam aksi tersebut, masyarakat adat menerima 253.823 tanda tangan petisi publik.
Petisi berisi desakan kepada pemerintah, khususnya para hakim, untuk berpihak pada kelestarian hutan Papua yang selama ini menjadi ruang kehidupan dan telah dijaga oleh masyarakat adat Awyu dan Moi Sigin.
Selain itu, berupaya memastikan perkembangan tuntutan masyarakat adat Papua pada Mei lalu, salah satunya untuk mencabut izin konsesi PT Indo Asiana Lestari (IAL) atas perkebunan sawit di hutan adat.
Baca juga: Elnusa Lestarikan Hiu Paus di Papua Tengah, Pakai Teknologi Tagging
“Hingga hari ini, kami belum mendapatkan informasi tentang nomor registrasi perkara kasasi yang kami masyarakat Awyu dan Moi Sigin daftarkan ke MA. Kami ingin menanyakan kepada Mahkamah, bagaimana perkembangan gugatan kami, apakah Mahkamah memprosesnya atau tidak?” kata pejuang lingkungan hidup dari suku Awyu, Hendrikus Woro.
Sementara itu, anggota Tim Advokasi Selamatkan Hutan Papua dari Yayasan Pusaka Bentala Rakyat Tigor Hutapea menyambut positif petisi sebagai dukungan publik.
“Hari ini kita menyerahkan petisi, hasil dari dukungan dan solidaritas publik ketika masyarakat adat Papua, Suku Moi dan Suku Awyu melakukan unjuk rasa di bulan Mei lalu. Kami senang ada banyak dukungan publik,” ujar Tigor saat ditemui di lokasi.
Sejumlah organisasi masyarakat sipil, mahasiswa, dan tokoh aktivis lingkungan seperti Melanie Subono, Kiki Nasution, dan Farwiza Farhan, menyerahkan petisi tersebut kepada perwakilan suku Awyu dan suku Moi, lalu kemudian diteruskan langsung ke Mahkamah Agung.
Adapun untuk empat perkara yang sudah berjalan di Mahkamah Agung, kata Tigor, masih belum diputuskan.
Baca juga: Warga Malagufuk Jaga Tempat Pengamatan Burung di Papua Tetap Lestari
“Satu perkara itu gugatan Suku Awyu ke perusahaan PT. Indo Asiana Lestari (IAL), sementara tiga gugatan lainnya itu adalah perusahaan yang menggugat pemerintah. Ada PT Kartika Cipta Pratama, PT Megakarya Jaya Raya, dan juga PT Sorong Agro Sawitindo,” papar dia.
Gugatan tersebut merupakan penolakan terhadap ekspansi kelapa sawit yang mengancam keberadaan hutan adat Papua.
“Semua masih berproses. Kita diminta untuk terus memperhatikan dan mengecek empat perkara ini. Artinya, masih ada upaya-upaya yang bisa kita lakukan. Petisi dukungan masih bisa kita lanjutkan,” tegasnya.
Baca juga: Kabar Baik, Tanah Adat Knasaimos di Papua Resmi Diakui Bupati Sorong Selatan
Tigor menilai, petisi yang sudah ditandatangani tersebut menujukkan bahwa publik saat ini merasa cemas dengan kondisi iklim yang sedang terjadi.
“Munculnya perkara, kasus yang dihadapi oleh suku Awyu dan suku Moi, itu memperlihatkan ada ancaman lagi ke depan yang akan memperparah perubahan iklim, kondisi iklim. Sehingga kami melihat publik sangat antusias mendukung ini,” terangnya.
Usai pertemuan dengan hakim justisial di Mahkamah Agung, ia menyebut bahwa MA memiliki komitmen untuk menerapkan hukum-hukum yang melindungi masyarakat adat dan mengatasi perubahan iklim.
Tigor juga mengatakan, hakim akan mencoba menerapkan PMA Nomor 1 Tahun 2023 tentang Pedoman Mengadili Perkara Lingkungan Hidup.
“Itu yang kami tunggu ke depan keputusannya seperti apa,” imbuhnya.
Baca juga: IAL Kantongi Konsesi Kebun Sawit Separuh Luas Jakarta, Suku Awyu dan Moi Gugat Pemprov Papua
Untuk diketahui, masyarakat adat suku Awyu di Boven Digoel, Papua Selatan dan suku Moi di Sorong, Papua Barat Daya terus berupaya memperjuangkan dan mempertahankan hutan adat mereka.
Hutan tersebut merupakan sumber penghidupan, pangan, air, obat-obatan, budaya, hingga pengetahuan Masyarakat Adat Awyu dan Moi.
Hutan adat juga menjadi habitat bagi flora dan fauna endemik Papua, sekaligus sebagai penyimpan cadangan karbon yang besar.
Apabila perusahaan-perusahaan sawit tersebut dibiarkan beroperasi, tentu akan berdampak dalam menyebabkan deforestasi lebih tinggi serta krisis iklim di Tanah Air.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya