Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 22/07/2024, 16:00 WIB
Danur Lambang Pristiandaru

Penulis

KOMPAS.com- Indonesia mengalami anomali pengelolaan sumber daya alam (SDA). Wilayah yang kaya sumber daya justru masyarakatnya miskin.

Hal tersebut disampaikan Staf Ahli Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bidang Perencanaan Strategis Muhammad Idris Froyoto Sihite dalam diskusi di Palembang, Sumatera Selatan, Kamis (18/7/2024).

Sihite mengatakan, anomali pengelolaan SDA tersebut harus dihentikan. Upaya tersebut membutuhkan langkah yang komprehensif dan berkelanjutan dari berbagai pihak, termasuk pemerintah, pelaku usaha, masyarakat sipil, dan akademisi.

Baca juga: DPR Sahkan Revisi UU Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistem

"Ini pekerjaan rumah kita bersama untuk mengatasi persoalan tersebut, apakah tata kelola sumber daya alam sudah sejalan dengan tujuan pasar 33 UUD 1945, yakni sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat," tutur Sihite dikutip dari siaran pers Kementerian ESDM, Sabtu (20/7/2024).

Sihite mengungkapkan, anomali tersebut dapat dilihat secara kasat mata, salah satu contohnya di Provinsi Sumatera Selatan.

Dia menyampaikan, provinsi ini memiliki cadangan batu bara terbesar kedua di Indonesia yakni 9,3 miliar ton dengan produksi tahun 2023 sebanyak 104,68 juta ton.

Wilayah ini juga menghasilkan penerimaan negara sebesar Rp 9,898 triliun yang terdiri atas iuran tetap sebesar Rp 66,4 milyar dan royalti sebesar Rp 9,832 triliun.

Baca juga: Anggota DPR Kritk Izin Tambang Ormas: Pemerintah Sembarangan Urus Sumber Daya

Akan tetapi, angka tersebut tidak juga mampu mengurangi tingkat kemiskinan di Provinsi Sumatera Selatan.

Salah satu penyebab dari anomali tersebut menurut Sihite adalah banyaknya pertambangan tanpa izin di Provinsi Sumatera Selatan.

Tambang tanpa izin tersebut, ujar Sihite, hanya mencari keuntungan sesaat tanpa menghiraukan kaidah-kaidah pertambangan yang baik dan bertanggung jawab.

Dia menambahkan, Provinsi Sumatera Selatan juga menjadi salah satu lokasi tindak pidana penambangan tanpa izin (PETI) terbanyak di Indonesia.

Baca juga: Smart Pumping, Upaya Konservasi Sumber Daya Air dalam Pemenuhan Standar Industri Hijau

Kepada para jaksa yang hadir dalam diskusi tersebut, Sihite berharap mereka perlu melakukan reformulasi strategi pengungkapan perkara PETI berbasis scientific evidence atau bukti saintifik dan catch the big fish.

"Semua komoditas tambang punya indentitas seperti DNA, sehingga dapat diidentifikasi menggunakan pendekatan scientific evidence, yang basisnya terukur di laboratorium. Bukti ilmiah merupakan bukti yang tidak terbantahkan untuk menghitung kerugian negara dari praktek pertambangan illegal," jelas Sihite.

Sihite mengatakan, Kementerian ESDM memiliki kemampuan mengungkap data baku, terukur, dan komprehensif untuk membuktikan secara riil kerugian negara ditimbulkan bukan sekedar perkiraan.

Sihite juga meminta para jaksa mengubah cara pengungkapan perkara dengan membalik pengungkapan perkara dari hilir. Selain itu memutus rantai pasok dari pengguna akhir sampai dengan pengilangan ilegal.

Baca juga: Sumber Daya Energi ASEAN Melimpah, Interkonektivitas Jadi Kunci Penuhi Pemintaan

Dia berujar, sampai saat ini Kementerian ESDM belum memiliki unit khusus yang membidangi penegakan hukum seperti halnya pada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).

Oleh karenanya, Dia menekankan perlunya sinergitas yang konstruktif dan berkelanjutan antara aparat penegak hukum dengan aparatur Kementerian ESDM untuk mentransformasikan pengetahuan aspek teknis pertambangan dan prinsip-prinsip good governance dalam menunjang keberhasilan pelaksanaan tugas masing-masing.

Kerja sama antara pemerintah, perusahaan, masyarakat, dan semua pemangku kepentingan sangat dibutuhkan untuk menciptakan pengelolaan pertambangan yang berkelanjutan dengan menerapkan prinsip praktik pertambangan yang baik.

Baca juga: Adopsi Konsep Ekonomi Biru, Indonesia Optimalkan Sumber Daya Pesisir

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Selamat, Kamu Pembaca Terpilih!
Nikmati gratis akses Kompas.com+ selama 3 hari.

Mengapa bergabung dengan membership Kompas.com+?

  • Baca semua berita tanpa iklan
  • Baca artikel tanpa pindah halaman
  • Akses lebih cepat
  • Akses membership dari berbagai platform
Pilihan Tepat!
Kami siap antarkan berita premium, teraktual tanpa iklan.
Masuk untuk aktivasi
atau
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau