JAKARTA, KOMPAS.com - Prinsip ekonomi sirkular yakni mempertahankan nilai produk dan sumber daya selama mungkin, semakin banyak diadaptasi di dunia, termasuk Indonesia.
Boolet, merupakan salah satu gerakan dalam bentuk usaha yang berupaya menyelesaikan permasalahan sampah di Indonesia, dengan membangun ekosistem ekonomi sirkular.
Chief Operations Officer (COO) Boolet, Vanessa, menjelaskan bahwa Boolet bertujuan memberikan kehidupan baru pada bahan-bahan alami bekas dengan mengubahnya menjadi sesuatu yang berharga, tahan lama, dan berguna.
Hadir sejak tahun 2021, pihak Boolet berangkat dari mengolah sumpit dan tusuk sate sekali pakai. Namun, ke depannya, tidak menutup kemungkinan bahan yang diolah semakin beragam.
"Kami mulai dari akhir 2021. Kenapa kita namain Boolet? Karena sebenarnya kita mau mengangkat topik circular economy. Jadi ke depannya kami tidak hanya mau fokus di tusuk sate dan sumpit. Mungkin ke depannya kalau kami menemukan solusi lain untuk sampah lain, kami tidak mau melimitasi diri," terang Vanessa, saat ditemui di Festival Ekonomi Sirkular di Taman Menteng, Jakarta, Kamis (18/7/2024).
Baca juga: Coca-Cola Dukung Ekonomi Sirkular, Terapkan Daur Ulang Botol RPET
Ia menjelaskan, ide mengolah sumpit dimulai pertama kali saat pandemi. Kala itu, pihaknya menyadari bahwa masih jarang Bank Sampah ataupun waste management yang mau menerima dan mengolah sumpit sekali pakai.
"Dari situ kami mulai mikirin 'Oh gimana, ini bisa diapain sih?' Karena sebenarnya yang kami terima masih dalam keadaan baru dan numpuk. Jadi kami mencoba untuk mencari solusi untuk tusuk sate dan sumpit ini," imbuhnya.
Vanessa mengungkapkan, pihaknya bekerjasama dengan berbagai Bank Sampah dan waste management untuk pengumpulan sumpit serta tusuk sate. Dalam sebulan, Boolet rata-rata menerima 6-10 ton sumpit maupun tusuk sate dari Jabodetabek.
"Sampai di workshop kami, ada tiga proses sterilisasi. Pakai sabun dan air, kami panggang di oven, menggunakan suhu panas, lalu kami masukkan ke ruang sinar UV. Nah dari situ, baru kami press. Jadi panel seperti ini, lalu dihaluskan. Dari panel yang sudah dihaluskan, baru kami rakit sesuai request," papar dia.
Setelah melalui proses sterilisasi dan penghalusan, barulah kumpulan sumpit dibentuk sesuai permintaan dari klien.
"Jadi bisa membentuk apa aja yang orang mau. Jadi kalau yang requestnya meja, kami bikinin meja. Ini ada tatakan gelas, ada kotak tisu, kacamata," terang Vanessa.
Adapun untuk harganya, barang kecil yang mudah dibentuk seperti tatakan gelas dibanderol mulai Rp 50.000 per buah. Sedangkan untuk request barang tertentu, biasanya akan dihitung setelah proses pengerjaan selesai.
Sebab, pihak Boolet tidak bekerja sendiri untuk proses perakitan barang. Melainkan, berkolaborasi dengan pengerajin dari Jepara dan Yogyakarta.
Untuk proses pengolahan hingga mencapai barang berguna yang baru, ia menyampaikan prosesnya tergantung dengan kesulitan benda yang dirakit. Benda-benda kecil seperti kotak tisu membutuhkan waktu 5-10 hari, sedangkan benda seperti meja atau desain yang besar bisa membutuhkan waktu hingga 3 bulan.
Menurut Vanessa, keunikan dan nilai guna sumpit membuat produk Boolet cukup digemari. Selain itu, masyarakat juga terbantu dengan adanya tempat pengolahan khusus sumpit.
"Kalau yang mau donasi ke kami banyak banget. Malah sampai Jawa, sampai Bali, sampai terakhir itu Kalimantan," ujarnya.
Baca juga: Strategi Nestle Kurangi Sampah, Daur Ulang hingga Ajak Kolaborasi
Namun, untuk beberapa daerah di luar Jawa yang memiliki lokasi jauh, ia menyarankan untuk berdonasi ke Bank Sampah atau pengelolaan sampah terdekat, agar tidak terbebani di ongkos pengiriman.
Adapun antusiasme pengguna produk juga cukup tinggi. Saat ini, selain menjual produknya secara daring di marketplace, Boolet juga telah bekerja sama dengan beberapa perusahaan di bidang FnB hingga perhotelan.
Vanessa menyampaikan, salah satu tantangan yang dirasakan oleh Boolet adalah karena masih jarangnya daur ulang sumpit maupun tusuk sate.
"Ini termasuk cukup unik, karena kan biasanya kayak dari plastik doang atau bungkus snack, gitu-gitu doang kan. Yang mana mungkin orang udah relatif tau, oh gini caranya. Nah tantangannya yang terbesar mungkin masih banyak yang belum tahu kalau tusuk sate dan sumpit itu bisa diolah kembali," terang dia.
Oleh karena itu, selain bekerja sama dengan Bank Sampah, pihaknya juga berupaya memberikan edukasi misalnya ke beberapa sekolah, untuk menginformasikan tentang daur ulang sumpit.
Tantangan kedua, menurutnya, ada keraguan masyarakat mengenai higienitas dari produk-produk sekali pakai yang didaur-ulang.
"Kedua, mungkin masih banyak sebenarnya orang-orang yang enggak menggunakan barang yang terbuat dari limbah. Jadi kami tekankan juga kalau proses pembersihan kami itu, kami make sure juga kalau ini layak pakai," ujarnya.
Lebih lanjut, Vanessa mengatakan, masyarakat yang ingin mengirimkan sumpit maupun tusuk sate bekas pakai bisa memberikannya kepada Boolet, dengan drop point di Pasar Minggu, Depok, dan Narogong.
"Tapi kalau di luar (Jabodetabek) mungkin tinggalnya agak jauh, bisa menghubungi bank sampah yang terdekat atau waste management yang ada di lingkup (rumah)," pungkasnya.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya