Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com, 6 Agustus 2024, 14:00 WIB
Danur Lambang Pristiandaru

Penulis

KOMPAS.com - Jepang berencana membangun jalur konveyor sejauh 500 kilometer (km) yang menghubungkan Tokyo dan Osaka sebagai jalur distribusi barang.

Infrastruktur tersebut dapat menjadi berbagai solusi dari berbagai tantangan mulai dari mengatasi kekurangan sopir truk, mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK), dan kemacetan.

Rencana tersebut diluncurkan bulan lalu oleh Kementerian Pertanahan, Infrastruktur, Transportasi, dan Pariwisata Jepang, sebagaimana dilansir Euronews, Senin (5/8/2024).

Baca juga: 3 Inisiasi Kemenhub untuk Dorong Transportasi Hijau

Ada sejumlah rencana lokasi jalur konveyor tersebut, mulai dari tengah jalan raya, di sepanjang bahu jalan, atau melalui terowongan bawah tanah.

Rencana yang dinamakan Autoflow-Road tersebut diproyeksikan dapat beroperasi selama 24 jam yang dapat mengangkut kargo setara dengan 25.000 truk per hari.

Menurut perkiraan surat kabar Yomiuri, jalan tersebut dapat beroperasi dalam satu dekade dengan biaya yang diperkirakan mencapai 80 miliar yen per 10 km.

Kementerian Pertanahan, Infrastruktur, Transportasi, dan Pariwisata Jepang mengatakan, jalur konveyor tersebut akan mengatasi krisis logistik, mengurangi emisi GRK, sekaligus memanfaatkan ruang jalan sepenuhnya.

Selain itu, tujuan utama proyek ini adalah untuk mengatasi kekurangan sopir truk yang semakin parah di Jepang.

Baca juga: Transportasi Publik Perlu Terintegrasi dan Humanis

Berkurangnya sopir truk tersebut tak lepas dari menuanya penduduk dan semakin enggannya pemuda untuk menjadi sopir karena rendahnya upah dan jam kerja yang panjang.

Aturan baru yang dimaksudkan mengurangi jumlah lembur yang diizinkan bagi pengemudi justru menambah keterlambatan pengiriman.

Untuk diketahui, lebih dari 90 persen kargo Jepang saat ini diangkut melalui jalan darat.

Sebuah studi terkini oleh Nomura Research Institute menunjukkan, pada 2030 akan terjadi kekurangan pengemudi truk sebesar 35 persen di seluruh Jepang dibandingkan dengan jumlah kargo yang akan diangkut.

Daerah pedesaan akan menjadi yang paling terdampak.

Baca juga: Pengamat: Transportasi Umum Jakarta Setara Kota Besar Dunia

Emisi dari transportasi barang

International Transport Forum (ITF) memperkirakan, transportasi barang yang terkait perdagangan menyumbang lebih dari 7 persen dari total emisi karbon dioksida secara global.

Subsektor ini juga menyumbang sekitar 30 persen dari semua emisi terkait transportasi.

AS, China, dan Uni Eropa merupakan penghasil emisi teratas dalam transportasi barang darat, sementara Jepang menyumbang sekitar 3 persen menurut data International Energy Agency (IEA).

Jepang sendiri bertujuan untuk mengurangi emisi GRK sebesar 46 persen pada 2030.

Baca juga: Forum ITS 2024 Teken Tiga Inisiatif Transportasi Berkelanjutan

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Terkini Lainnya
KSP: Teknologi Waste to Energy RI Terlambat 20 Tahun
KSP: Teknologi Waste to Energy RI Terlambat 20 Tahun
Pemerintah
Emisi Metana Terus Meningkat, Tapi PBB Prediksi Penurunan Segera
Emisi Metana Terus Meningkat, Tapi PBB Prediksi Penurunan Segera
Pemerintah
Kebijakan Adaptasi dan Mitigasi Krisis Iklim RI Dinilai Belum Peduli Kelompok Paling Rentan
Kebijakan Adaptasi dan Mitigasi Krisis Iklim RI Dinilai Belum Peduli Kelompok Paling Rentan
LSM/Figur
Pemerintah Bakal Bangun SPKLU di Desa untuk Perluas Penggunaan EV
Pemerintah Bakal Bangun SPKLU di Desa untuk Perluas Penggunaan EV
Pemerintah
Rencana Buka 600.000 Ha Lahan Sawit Baru, Solusi atau Kemunduran?
Rencana Buka 600.000 Ha Lahan Sawit Baru, Solusi atau Kemunduran?
LSM/Figur
Greenpeace: Komitmen Iklim Anggota G20 Tak Ambisius
Greenpeace: Komitmen Iklim Anggota G20 Tak Ambisius
LSM/Figur
RI-Inggris Teken MoU Kurangi Sampah Plastik dan Polusi Laut
RI-Inggris Teken MoU Kurangi Sampah Plastik dan Polusi Laut
Pemerintah
COP30: 300 Juta Dollar AS Dialokasikan untuk Riset Kesehatan Iklim
COP30: 300 Juta Dollar AS Dialokasikan untuk Riset Kesehatan Iklim
Pemerintah
Startup Indonesia Perkuat Ekosistem Inovasi Berkelanjutan lewat Nusantara Innovation Hub
Startup Indonesia Perkuat Ekosistem Inovasi Berkelanjutan lewat Nusantara Innovation Hub
Swasta
WEF: Transisi Hijau Ciptakan 9,6 Juta Lapangan Kerja Baru pada 2030
WEF: Transisi Hijau Ciptakan 9,6 Juta Lapangan Kerja Baru pada 2030
Pemerintah
Celios: Banyak Negara Maju Belum Bayar Utang Ekologis ke Negara Berkembang
Celios: Banyak Negara Maju Belum Bayar Utang Ekologis ke Negara Berkembang
Pemerintah
Skandal Sawit Kalteng: 108 Perusahaan Masuk Kawasan Hutan, Ogah Bangun Kebun Plasma
Skandal Sawit Kalteng: 108 Perusahaan Masuk Kawasan Hutan, Ogah Bangun Kebun Plasma
LSM/Figur
Tantangan Menggeser Paradigma Bisnis Sawit dari Produktivitas ke Keberlanjutan
Tantangan Menggeser Paradigma Bisnis Sawit dari Produktivitas ke Keberlanjutan
Swasta
Masyarakat Adat Jaga Ekosistem, tapi Hanya Terima 2,9 Persen Pendanaan Iklim
Masyarakat Adat Jaga Ekosistem, tapi Hanya Terima 2,9 Persen Pendanaan Iklim
LSM/Figur
Laporan Mengejutkan: Cuma 19 Persen Perusahaan Sawit di Kalteng Lolos Administrasi
Laporan Mengejutkan: Cuma 19 Persen Perusahaan Sawit di Kalteng Lolos Administrasi
LSM/Figur
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme Jernih KOMPAS.com
Memuat pilihan harga...
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme Jernih KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau