JAKARTA, KOMPAS.com - Penelitian telah menunjukkan besarnya potensi ekonomi yang dihasilkan dari minyak jelantah untuk menjadi biodiesel, sebagai sumber daya energi terbarukan.
Dengan tingginya konsumsi dan ekspor minyak Indonesia, negara perlu melakukan intervensi terhadap pengelolaan minyak jelantah untuk mengoptimalisasi kemakmuran rakyat.
Sebab, jika pengelolaan dan potensi minyak jelantah tidak diatur, maka bisa berpotensi menyebabkan terjadinya kegagalan pasar. Kegagalan pasar terjadi akibat adanya informasi yang asimetris dan eksternalitas.
Baca juga: Paramount dan noovoleum Olah Minyak Jelantah Jadi Energi Terbarukan
Asimetris akan menyebabkan ketidakseimbangan informasi, di mana hanya salah satu pihak saja yang memperoleh keuntungan, dan menghambat kegiatan pasar secara efisien.
Sementara, eksternalitas berarti biaya atau manfaat minyak jelantah (used cooking oil atau UCO) yang ditimbulkan oleh produsen tidak terefleksi dalam harga sebuah produk.
Sampai saat ini, Indonesia belum memiliki peraturan perundang-undangan yang secara khusus mengatur tentang tata kelola dan pemanfaatan potensi minyak jelantah sebagai sumber daya energi terbarukan.
Direktur Program Traction Energy Asia, Sudaryadi mengatakan, hal ini berdampak pada harga minyak jelantah yang bervariasi, akibat belum adanya intervensi pemerintah terhadap aktivitas jual-beli.
Pemerintah juga belum mengatur status minyak jelantah sebagai komoditas sumber daya energi terbarukan ataupun sebagai limbah.
“Jika dianggap sebagai limbah, maka harga minyak jelantah di pasar sudah terlalu tinggi. Sangat krusial agar pemerintah segera mengatur dan menetapkan harga,” ujar Sudaryadi dalam diskusi peluncuran Naskah Akademis Tata Kelola dan Tata Niaga Minyak Jelantah di Jakarta, Senin (5/8/2024).
Baca juga: Luhut: Indonesia Akan Bangun Industri Minyak Jelantah Pengganti Avtur
Senada, Direktur Pusat Kajian sekaligus Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FH UI), Andri Gunawan Wibisana mendorong perlunya pengaturan penentuan harga maksimum minyak jelantah oleh pemerintah.
Selain itu, kata dia, pengenaan tarif ekspor menjadi hal penting lainnya dalam tata kelola dan tata niaga minyak jelantah.
“Karena kebutuhan akan biofuel dan UCO itu akan menjadi tinggi, dan ini kalau tidak diatur akan menyebabkan inflasi atau greenflation,” ujar Andri.
Keduanya berharap, melalui kajian naskah akademis yang sudah diluncurkan, pemerintah dapat menetapkan regulasi tertulis mengenai pengelolaan minyak jelantah.
"Tindak lanjutnya, idealnya kami di tim (kajian), menginginkan perpres. Tapi kalau itu tidak memungkinkan dalam waktu singkat, bisa dibuat dari yang paling urgent dalam hal ini terkait harga, bisa peraturan menteri," imbuh Andri.
Bahkan, Sudaryadi menilai, potensi penting pengelolaan minyak jelantah sebagai sumber daya domestik, perlu diatur hingga tingkat Peraturan Pemerintah (PP).
Baca juga: Mahasiswa IPB Olah Minyak Jelantah Jadi Lilin Aromaterapi
Lebih lanjut, Sudaryadi mengatakan bahwa potensi minyak jelantah yang diolah menjadi biofuel dinilai bisa mendukung kebijakan transisi energi yang saat ini dijalankan pemerintah.
"Jadi menurut saya sangat-sangat ironis kalau hal ini dimanfaatkan oleh negara lain, karena potensi atau kesediaannya sangat berlimpah dan murah. Itu merupakan potensi yang harus bisa kita kelola sendiri," ujarnya.
Sebagai informasi, naskah akademik hasil kajian Traction Energy Asia dan tim peneliti Pusat Kajian Hukum Lingkungan dan Keadilan Iklim Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI) ini akan menjadi rekomendasi bagi pemerintah.
Khususnya Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko marves) dalam merampungkan Peta Jalan Nasional Pengembangan Sustainable Aviation Fuel (SAF) atau bahan bakar nabati untuk aviasi di Indonesia.
Baca juga: Mengapa Minyak Jelantah Tidak Boleh Dibuang ke Saluran Air Limbah?
Naskah akademik yang telah disusun oleh Traction Energy Asia bersama pusat kajian sejak 2023 ini, didasari oleh penelitian yang dilakukan oleh Traction Energy Asia pada tahun 2022.
Andri menjelaskan, ada setidaknya sepuluh hal penting yang perlu diatur dalam ruang lingkup pengaturan pengelolaan komersial UCO.
Mulai dulai dari pendefinisian secara hukum terkait minyak jelantah, instrumen pencegahan dampak negatif dari minyak jelantah, hingga pengaturan harga jual minyak jelantah.
Adapun dalam studi tersebut, ditemukan ada potensi minyak jelantah di lima kota besar Jawa dan Bali, di antaranya 34.164,84 kiloliter/tahun di sektor rumah tangga dan 18.115,68 kiloliter/tahun di sektor usaha mikro.
Hasil penelitian ini juga menemukan bahwa, 71,88 persen rumah tangga dan 58,08 persen pegiat usaha mikro menyetujui adanya pengumpulan minyak jelantah.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya