INDONESIA merupakan salah satu negara dengan wilayah lautan terbesar di dunia, yang mencapai lebih dari 3 juta kilometer persegi.
Lautan Indonesia dikenal dengan keanekaragaman hayati yang tinggi dan mengandung kekayaan laut yang paling beragam di dunia.
Kekayaan laut tersebut perlu dikelola secara lebih efektif dan lebih baik dengan dukungan data dan informasi hidrospasial yang lengkap.
Data hidrospasial merupakan data spasial laut yang memberikan informasi lokasi, persebaran, perkembangan dan dinamika neraca sumber daya laut dari waktu ke waktu.
Indonesia telah me-launching dashboard neraca sumber daya laut yang mengintegrasikan data hidrospasial dan data statistik sumber daya laut dalam pertemuan the 5th Global Dialogue on Sustainable Ocean Development tanggal 5 Juli 2024.
Pertemuan Global Dialogue dihadiri para menteri negara-negara kepulauan dan negara-negara yang mengelola lautan seperti Indonesia, Palau, Maldives, Samoa, Papua New Guinea, Fiji, Australia, dan Belize.
Dashboard ini merupakan salah satu bentuk komitmen Indonesia dalam mengelola sumber daya laut berkelanjutan, yang sejalan dengan program "Global Ocean Accounts Partnership" (kemitraan akun lautan global).
Sebuah inisiatif atau kerja sama global yang bertujuan mengelola dan memantau data lautan secara luas, melibatkan pengumpulan data, analisis, dan pelaporan yang terkait dengan keberlanjutan sumber daya laut di tingkat global.
Neraca sumber daya laut sangat diperlukan sebagai data dukung dalam proses pengambilan keputusan, sebagai trade off aspek ekonomi dan ekologi, sebagai bentuk monitoring upaya konservasi, dan meningkatkan transparasi dan akuntabilitas pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya laut.
Sampai 2024 ini telah dikeluarkan kurang lebih 1595 izin pemanfaatan laut pada luasan 88.000 hektare.
Perizinan yang banyak tersebut tentu perlu dimonitor untuk mendapatkan pemanfaatan yang lestari dan keseimbangan ekonomi-ekologi dalam jangka waktu yang panjang.
Data hidrospasial neraca sumber daya laut juga dapat digunakan untuk mendukung prioritas pengelolaan kawasan konservasi.
Sejak 2007, kawasan konservasi laut terus mengalami peningkatan hingga 350 persen, dari sekitar 7,4 juta hektare meningkat menjadi 15,3 juta hektare pada 2013, dan menjadi 20,9 juta hektare pada 2018 serta 29,3 juta hektare pada 2023.
Sejalan dengan pengembangan dashboard neraca sumber daya laut tersebut, pemerintah melalui Badan Informasi Geospasial (BIG) secara kontinyu menyelenggarakan pemetaan dasar skala besar secara bertahap untuk seluruh wilayah Indonesia, termasuk wilayah pulau-pulau kecil, pesisir, dan garis pantai.
Sementara itu, pemerintah juga terus melakukan pemetaan wilayah laut, termasuk pemetaan batimetri, pemetaan terumbu karang dan pemetaan rumput laut sebagai bagian dari penyediaan data dan informasi hidrospasial tematik laut untuk mendukung pembangunan lautan berkelanjutan.
Ketersediaan data hidrospasial sangat penting untuk pengembangan ekonomi biru melalui penyediaan data lokasi, persebaran, luasan dan perubahan (dinamika sumber daya) berbasis lokasi dan waktu.
Nilai ekonomi biru Indonesia saat ini mencapai kurang lebih 256 miliar dollar AS yang terkait sektor ketahanan pangan, perikanan dan budidaya, serta pariwisata.
Data hidrospasial yang komprehensif dan dalam skala yang lebih detail tentu dapat mendorong dan mendukung peningkatan nilai ekonomi biru melalui perluasan kawasan konservasi laut, penerapan keberlanjutan pemanfaatan sumber daya lautan, pengelolaan dan pembangunan kawasan pantai dan pulau-pulau kecil yang lebih terukur.
Penyediaan data hidrospasial tidak saja dibatasi pada informasi terkait potensi sumber daya laut secara spasial, namun juga aspek kesehatan lautan, potensi kebencanaan, aspek sosial-kultural dan informasi keruangan lainnya.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya